Headline
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
Penaikan belanja akan turut mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi 5,4%.
PERUBAHAN kemiringan Bumi terhadap Matahari mengendalikan pergerakan lapisan es raksasa selama 800.000 tahun terakhir, memicu awal dan akhir delapan zaman es, menurut penelitian terbaru.
Studi baru ini mengungkapkan adanya "korelasi luar biasa" antara kemiringan Bumi dan pembentukan lapisan es, kata penulis utama Stephen Barker. Berdasarkan temuan ini, para peneliti memperkirakan zaman es berikutnya akan mulai dalam 11.000 tahun, jika bukan karena pemanasan global yang disebabkan manusia.
"Prediksinya adalah zaman es berikutnya akan dimulai dalam 10.000 tahun ke depan," kata Barker, seorang profesor ilmu Bumi di Universitas Cardiff, Inggris. Namun, hasil ini tidak memperhitungkan emisi gas rumah kaca yang terus meningkat, yang memanaskan planet hingga mencegah terjadinya zaman es, tambahnya.
Zaman es, atau periode glasial, adalah periode waktu yang sangat dingin yang terjadi kira-kira setiap 100.000 tahun, di mana sebagian besar planet tertutup lapisan es besar selama ribuan tahun. Periode glasial ini dipisahkan periode interglasial yang lebih hangat, ketika lapisan es mundur ke arah kutub. Saat ini, Bumi berada dalam periode interglasial, dengan puncak zaman es terakhir terjadi sekitar 20.000 tahun yang lalu.
Para ilmuwan sebelumnya telah menyarankan bahwa posisi dan sudut Bumi terhadap Matahari memengaruhi pembentukan lapisan es. Pada awal 1920-an, ilmuwan Serbia Milutin Milankovitch mengajukan teori perubahan kecil dalam kemiringan sumbu Bumi serta bentuk orbitnya dapat memicu peristiwa glasial besar.
Para peneliti telah menguji teori Milankovitch selama 100 tahun terakhir. Sebuah studi tahun 1976 menemukan bukti geologis bahwa dua parameter Bumi — obliquity (kemiringan sumbu) dan precession (goyangan sumbu Bumi) — berperan dalam pertumbuhan dan penyusutan lapisan es. Namun, peran pasti dari masing-masing parameter ini masih belum jelas.
Kini, Barker dan rekan-rekannya mengklaim telah berhasil menguraikan efek dari kedua faktor tersebut.
Saat ini, sumbu Bumi miring sekitar 23,5 derajat dari garis vertikal saat mengorbit Matahari, memengaruhi seberapa banyak energi Matahari mencapai kutub. Namun, kemiringan ini berubah dalam siklus sekitar 41.000 tahun. Selain itu, sumbu Bumi juga berayun seperti gasing yang tidak seimbang dalam siklus sekitar 21.000 tahun, yang memengaruhi seberapa banyak energi Matahari mencapai daerah khatulistiwa saat musim panas.
Untuk penelitian ini, para ilmuwan memplot perubahan obliquity dan precession selama 800.000 tahun terakhir. Mereka juga memetakan ekspansi dan penyusutan lapisan es berdasarkan data dari cangkang mikroskopis yang disebut foraminifera dalam sedimen laut. Kandungan isotop oksigen dalam foraminifera mengungkapkan seberapa jauh lapisan es meluas saat organisme tersebut masih hidup.
Hasil gabungan dari pemetaan ini begitu jelas hingga Barker menyebutnya sebagai "momen yang mengejutkan". "Kami menemukan korelasi luar biasa [...] yang menunjukkan hubungan langsung antara fase obliquity dan precession, serta durasi waktu yang dibutuhkan lapisan es untuk mencair," katanya.
Secara sederhana, ekspansi lapisan es dari kutub menuju khatulistiwa tampaknya dikendalikan langsung oleh obliquity, sementara penyusutan lapisan es kembali ke kutub lebih bergantung pada precession.
Hasil ini tidak terlalu mengejutkan mengingat obliquity dan precession memang memengaruhi jumlah sinar matahari yang mencapai wilayah kutub dan khatulistiwa. "Bergantung pada lokasi di Bumi, pengaruh precession atau obliquity bisa lebih dominan," kata Barker.
Grafik data yang dihasilkan sangat jelas sehingga para ilmuwan memperkirakan kapan zaman es berikutnya akan terjadi jika iklim hanya berubah berdasarkan siklus alami. Mereka memperkirakan lapisan es akan mulai berkembang kembali dalam waktu 10.000 hingga 11.000 tahun, mencapai puncaknya dalam 80.000 hingga 90.000 tahun, dan kemudian akan menyusut kembali ke kutub selama 10.000 tahun berikutnya.
Namun, sebagian besar ahli sepakat bahwa aktivitas manusia telah mengganggu siklus ini melalui pemanasan global.
"Jika kadar CO2 tetap tinggi, zaman es baru tidak akan terjadi," kata Barker.
Meskipun demikian, Barker memperingatkan bahwa bukan berarti memanaskan planet ini adalah hal yang baik.
"Kami tidak ingin orang-orang yang ingin meningkatkan emisi CO2 menggunakan temuan ini sebagai pembenaran," katanya.
Sebaliknya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana iklim seharusnya berkembang dalam 10.000 hingga 20.000 tahun ke depan tanpa campur tangan manusia. Dengan begitu, para ilmuwan dapat memperkirakan dampak jangka panjang aktivitas manusia terhadap planet ini. (Live Science/Z-2)
Studi terbaru mengungkap populasi burung tropis turun hingga 38% sejak 1950 akibat panas ekstrem dan pemanasan global.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
PEMERINTAH Indonesia menegaskan komitmennya dalam mempercepat mitigasi perubahan iklim melalui dukungan pendanaan dari Green Climate Fund (GCF).
Indonesia, dengan proposal bertajuk REDD+ Results-Based Payment (RBP) untuk Periode 2014-2016 telah menerima dana dari Green Climate Fund (GCF) sebesar US$103,8 juta.
Periset Pusat Riset Hortikultura BRIN Fahminuddin Agus menyatakan lahan gambut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, terutama jika tidak dikelola dengan baik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved