Headline

Pengibaran bendera One Piece sebagai bagian dari kreativitas.

Gambut Bisa Jadi Penyumbang Emisi Karbon Terbesar jika tidak Dikelola secara Tepat

Atalya Puspa    
05/8/2025 13:29
Gambut Bisa Jadi Penyumbang Emisi Karbon Terbesar jika tidak Dikelola secara Tepat
Personel Manggala Agni Daops Ogan Komering Ilir (OKI) menarik selang air untuk melakukan pemadaman kebakaran lahan gambut di Sumatra Selatan.(Dok. Antara)

LAHAN gambut merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, terutama jika tidak dikelola dengan baik. Periset Pusat Riset Hortikultura BRIN Fahminuddin Agus menyatakan, oleh karena itu, perhitungan emisi baik yang berasal dari dekomposisi tanah maupun kebakaran, perlu dilakukan secara akurat untuk mendukung inventarisasi nasional dan pencapaian target iklim seperti FOLU Net Sink 2030.

“Di samping itu juga pentingnya memisahkan respirasi heterotrofik dari total fluks CO₂ dalam pelaporan emisi. Hal ini agar data yang disajikan benar-benar mencerminkan kontribusi dari proses dekomposisi gambut,” jelas Fahmuddin dalam keterangan resmi, Selasa (5/8).

Salah satu temuan penting yang disampaikannya adalah hubungan yang kuat antara tinggi muka air tanah (groundwater level/GWL) dan emisi karbon. Berdasarkan kajian Deshmukh dan Hirano, perubahan GWL sebesar 1 cm dapat berdampak besar baik menurunkan maupun meningkatkan emisi hingga hampir 1 ton CO₂ per hektar per tahun.

“Simulasi menunjukkan bahwa peningkatan GWL sebesar 20 cm pada dua juta hektar lahan sawit gambut berpotensi menurunkan emisi hingga 26 juta ton CO₂ setiap tahun. Namun, efektivitas pengurangan emisi ini sangat bergantung pada desain dan kepadatan kanal,” terang dia.

Lebih lanjut, Fahmuddin menekankan pentingnya peralihan ke metodologi Tier 3 dalam pelaporan emisi gas rumah kaca. Dengan menggunakan faktor emisi berbasis data lokal termasuk kondisi tanah, kedalaman gambut, dan intervensi seperti canal blocking. Indonesia dapat menyusun laporan yang lebih akurat, kredibel, dan sesuai konteks,” bebernya.

Untuk itu, ia mendorong peningkatan jumlah publikasi ilmiah dari hasil riset dalam negeri agar faktor-faktor emisi nasional dapat diakui secara internasional melalui Emission Factor Database (EFDB) IPCC. Di samping itu juga memperkuat posisi Indonesia dalam forum perubahan iklim global.

Periset Pusat Riset Ekologi  BRIN Luthfan M. Nugraha menekankan, restorasi ekosistem gambut bukan hanya soal pemulihan aspek biofisik, tetapi juga soal keberlanjutan masyarakat yang hidup di sekitarnya.

“Hasil temuan lapangan kami menunjukan bahwa kita tidak bisa bicara soal perubahan iklim atau degradasi ekosistem, tanpa menyentuh kehidupan dan keberlanjutan penghidupan masyarakatnya,” ungkap Luthfan.

Ia menilai, pendekatan restorasi yang hanya berfokus pada aspek biofisik saja, tanpa melibatkan komunitas lokal, berisiko menjadi proyek yang tidak berkelanjutan. Karena itu, melalui riset di Desa Malikian, Kalimantan Barat sebagai wilayah yang dikenal kritis dan rawan kebakaran, Luthfan dan tim mengusung pendekatan community-based restoration.

“Kami tidak datang membawa solusi instan. Justru kami ingin belajar dan merancang bersama masyarakat,” ujarnya.

Menurutnya, riset ini dimulai dari identifikasi komoditas yang adaptif terhadap lahan gambut, pendirian sekolah lapang, hingga penyusunan modul pertanian ramah lingkungan. Semua dilakukan bersama warga, termasuk pengembangan pupuk organik cair, kompos, dan probiotik yang disesuaikan dengan karakteristik gambut setempat.

“Keberhasilan restorasi gambut tidak bisa dilepaskan dari peningkatan taraf hidup masyarakat. Tujuan kami sederhana, yaitu membangun sistem sosial-ekologis yang tahan iklim dan berbasis kemandirian lokal. Kami percaya, tidak ada restorasi gambut yang benar-benar berhasil tanpa itu,” tegasnya. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya