Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Lahan Gambut Amazon Peru Beralih Jadi Netral Karbon, Apa Penyebabnya?

Thalatie K Yani
24/7/2025 09:26
Lahan Gambut Amazon Peru Beralih Jadi Netral Karbon, Apa Penyebabnya?
Penelitian ungkap lahan gambut Amazon Peru berubah dari penyerap karbon menjadi netral karbon akibat cahaya berlebih dan penurunan muka air.(CIFOR)

SEBUAH lahan gambut di hutan Amazon Peru yang biasanya berfungsi sebagai penyerap karbon kini berubah menjadi netral karbon. Di mana berartinya ia menyerap dan melepaskan karbon dalam jumlah hampir seimbang. 

Temuan ini dipublikasikan pada 30 Juni di Geophysical Research Letters dan menimbulkan pertanyaan penting tentang masa depan ekosistem gambut tropis.

Gambut: Penyimpan Karbon Raksasa

Lahan gambut memainkan peran vital dalam siklus karbon. Di Peru, gambut hanya mencakup kurang dari 5% wilayah negara (sekitar 56.000 km²), tetapi mampu menyimpan 5 gigaton karbon di bawah tanah. Jumlah yang setara dengan seluruh karbon yang tersimpan di vegetasi atas tanah di Peru.

Secara global, gambut hanya mencakup 3% daratan dunia, namun menyimpan lebih dari 550 gigaton karbon, dua kali lipat dibandingkan seluruh hutan di Bumi.

“Meski area gambut kecil, perannya sebagai gudang karbon sangat besar,” jelas Jeffrey Wood, biometeorolog dari University of Missouri sekaligus penulis utama studi ini.

Perubahan di Jantung Amazon

Wood dan timnya meneliti gambut di Cagar Alam Hutan Quistococha, Peru. Ekosistem ini, dikenal sebagai aguajales, didominasi pohon palem moriche (Mauritia flexuosa). Selain penting bagi masyarakat lokal, buah palem ini juga menjadi makanan burung macaw, monyet, tapir, dan berbagai satwa lainnya.

Dalam kondisi normal, tanaman di kawasan rawa ini menyerap karbon dioksida (CO?) melalui fotosintesis. Namun karena tanahnya selalu tergenang air, daun dan ranting yang mati tidak sepenuhnya membusuk, melainkan terperangkap menjadi lapisan gambut, menjaga karbon tetap tersimpan di dalam tanah.

Namun pada 2022, kawasan ini berubah dari penyerap karbon kuat pada 2018–2019 menjadi netral karbon, tanpa adanya penebangan, pengeringan, badai, atau kekeringan ekstrem.

Penyebabnya: Cahaya Berlebih dan Air yang Surut

Tim menemukan dua faktor utama:

  1. Periode panjang tanpa awan membuat intensitas cahaya matahari lebih tinggi dari biasanya. Hal ini justru menghambat fotosintesis, karena tanaman menutup pori-pori daun (stomata) untuk menghindari stres cahaya berlebih. Akibatnya, penyerapan CO2 menurun drastis, bahkan pada pagi dan sore hari yang biasanya produktif.
  2. Penurunan muka air mengekspos lapisan gambut bagian atas, memberi lebih banyak oksigen bagi bakteri. Ini mempercepat pembusukan bahan organik, sehingga lebih banyak karbon dioksida dan metana dilepaskan ke atmosfer.

“Di hutan hujan seperti Amazon, tanaman terbiasa dengan naungan awan. Ketika cahaya terlalu banyak, justru membuat fotosintesis menurun,” jelas Wood.

Apakah Ini Gejala Jangka Panjang?

Para ahli menilai fenomena ini perlu dilihat dengan hati-hati. Chris Evans, ahli biogeokimia gambut dari UK Centre for Ecology & Hydrology, menekankan bahwa gambut alami wajar mengalami fluktuasi—kadang menjadi penyerap karbon, kadang netral—tergantung kondisi cuaca dan muka air.

“Saya tidak melihat ini sebagai bukti perubahan permanen dalam keseimbangan karbon,” kata Evans.

Namun, perubahan iklim dan aktivitas manusia di wilayah sekitar tetap bisa memengaruhi. Deforestasi dan perubahan tutupan lahan dapat mengubah pola cuaca lokal, yang kemudian berdampak pada gambut.

Jean Ometto, peneliti di Brazilian National Space Research Institute, menambahkan bahwa penurunan muka air tanah di Amazon akibat kekeringan berulang bisa menjadi masalah permanen jika iklim terus berubah.

Pentingnya Melindungi Gambut Tropis

Temuan ini menyoroti betapa rapuhnya keseimbangan karbon di gambut tropis. Jika lahan gambut kehilangan kemampuannya menyerap karbon, ia bisa menjadi sumber emisi besar-besaran.

“Kita tidak perlu panik, tapi harus berpikir serius bagaimana melindungi gambut yang masih sehat dan memulihkan yang rusak agar tetap mampu menyimpan karbon di masa depan,” ujar Lydia Cole, ahli ekologi konservasi dari University of St Andrews, Skotlandia. (Live Science/Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Thalatie Yani
Berita Lainnya