Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kerusakan Iklim dan Krisis Sosial Perlu Diantisipasi Bersama

Mediaindonesia.com
21/1/2022 20:12
Kerusakan Iklim dan Krisis Sosial Perlu Diantisipasi Bersama
Saadia Zahidi, Managing Director, Forum Ekonomi Dunia (WEF).(Ist/WEF)

MEMASUKI tahun ketiga pandemi, risiko iklim mendominasi kekhawatiran global. Menurut Laporan Risiko Global 2022, untuk sementara risiko jangka panjang teratas berkaitan dengan iklim.

Adapun kekhawatiran jangka pendek global teratas mencakup perpecahan sosial, krisis penghidupan, hingga perburukan kesehatan mental.

Selain itu, sebagian besar ahli meyakini pemulihan ekonomi global tidak akan stabil dan timpang dalam tiga tahun ke depan.

Pada edisi ke-17, laporan ini mendorong pemimpin berpikir di luar siklus laporan triwulanan dan membuat kebijakan pengelolaan risiko serta perencanaan agenda pada tahun mendatang.

Laporan ini mengupas empat area risiko yaitu keamanan siber; kompetisi di ruang angkasa; transisi iklim yang tidak teratur; dan tekanan migrasi. Keempat hal itu masing-masing membutuhkan koordinasi global agar dapat dikendalikan dengan sukses.

“Disrupsi kesehatan dan ekonomi memperburuk keretakan sosial. Kondisi ini menciptakan ketegangan sehingga kolaborasi masyarakat dan komunitas internasional menjadi fundamental untuk memastikan pemulihan global yang lebih merata dan cepat," kata Saadia Zahidi, Managing Director, Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam keterangan pers, Jumat (21/1)

"Para pemimpin global harus bersatu mengambil pendekatan terkoordinasi di antara pemangku kepentingan untuk mengatasi tantangan global dan membangun ketahanan untuk mengatasi krisis berikutnya,” ujar Saadia.

Douglas Ure, President Director & CEO Marsh Indonesia, mengungkapkan laporan yang merupakan pendapat dan wawasan dari hampir 1.000 pakar dan pemimpin global itu menunjukkan bahwa pemimpin global, baik dari sudut pandang politik maupun industri perlu mempertimbangkan masalah risiko tersebut.

"Dalam hal ini, mereka perlu mempersiapkan apa yang tidak dapat dihindari dalam jangka pendek dan juga menerapkan strategi mitigasi untuk risiko jangka panjang," katanya.

"Dengan kata lain, upaya mitigasi perlu melibatkan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan lintas negara, kawasan, dan sektor industri," ujar Douglas.

Bagi perusahaan, kata Douglas, membangun ketahanan yang lebih besar menjelang krisis di masa depan akan menjadi kunci dan ini bergantung pada industri serta seberapa terpaparnya perusahaan terhadap pandemi.

Ia mencontohkan beberapa kliennya tetap berkembang selama pandemi, seperti perusahaan teknologi, media, logistik, produsen tertentu, dan industri ritel online. Padahal, sektor lainnya terpukul parah seperti sektor perhotelan, agen perjalanan, dan penerbangan.

Karena itu, lanjut dia, perusahaan harus berinovasi dan mencari cara holistik untuk menganalisis dan mengukur risiko, mempersiapkan dan membangun ketahanan, serta memastikan risiko fisik dan transisi.

Ia juga memprediksi pandemi masih jadi perhatian utama sebagian besar organisasi atau perusahaan pada 2022.

"Potensi mutasi yang berkelanjutan, kemanjuran vaksin, gangguan ekonomi, kesejahteraan karyawan, dan ketidakpastian kapan kita kembali ke era normal, semuanya membebani perusahaan," ujar dia.

Apalagi saat ini juga risiko serangan siber dan gangguan teknologi semakin meningkat.

"Maka wajar, banyak klien kami terlibat dengan kami dalam risiko dunia maya, solusi asuransi, dan bagaimana mereka dapat melindungi organisasi dengan lebih baik," katanya. 

Adapun terkait risiko kerusakan iklim yang ditampilkan dalam laporan, menurut Douglas, sangat penting bagi pemerintah mengambil tindakan kolektif dan bekerja sama untuk mengatasi segala tantangan tersebut.

"Konferensi Perubahan Iklim COP26 membuat beberapa kemajuan tapi banyak ahli mempertanyakan apakah komitmen itu berjalan cukup jauh," jelasnya.

"Di sisi lain, kami juga melihat banyak industri atau perusahaan yang menonjolkan lingkungan, sosial dan tata kelola (ESG) sebagai prioritas untuk mengurangi jejak lingkungan mereka," pungkas Douglas.

Carolina Klint, Risk Management Leader, Continental Europe, Marsh, mengungkapkan saat perusahaan pulih dari pandemi, mereka harus mempertajam fokus pada ketahanan organisasi dan kualifikasi lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG).

"Dengan ancaman siber yang berkembang lebih cepat dari kemampuan kita, berbagai strategi ketahanan dan tata kelola pun tidak mungkin terwujud tanpa rencana manajemen risiko siber yang kredibel dan canggih," jelasnya.

Peter Giger, Group Chief Risk Officer, Grup Asuransi Zurich, menambahkan krisis iklim tetap jadi ancaman jangka panjang terbesar yang dihadapi manusia.

"Kegagalan dalam mengatasi perubahan iklim dapat memangkas hingga satu per enam PDB global dan komitmen yang diambil pada COP26 masih kurang untuk mencapai target 1,5 C," katanya.

"Belum terlambat bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk bertindak atas risiko yang dihadapi dan mengupayakan transisi ke arah inovatif, penuh tekad dan inklusif yang melindungi ekonomi dan masyarakat," tukas Peter.

Laporan Risiko Global 2022 disusun dengan dukungan dari Dewan Penasihat Risiko Global dari Forum Ekonomi Dunia (WEF).

Laporan ini juga mendapat dukungan melalui kolaborasi berkelanjutan dengan mitra strategis yaitu Marsh Mclennan, SK Group dan Zurich Insurance Group, serta penasihat akademik dari Oxford Martin School (Universitas Oxford), National University of Singapore dan Wharton Risk Management and Decision Processes Center (Universitas Pennsylvania). (RO/OL-09)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya