Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Boikot dan Pengeboman Bayangi Tahun Ajaran Baru di Myanmar

Atikah Ishmah Winahyu
03/6/2021 12:49
Boikot dan Pengeboman Bayangi Tahun Ajaran Baru di Myanmar
Seorang guru memeriksa suhu tubuh pelajar yang akan masuk ke sekolah di Kota Sittwe, Negara Bagian Rakhine(AFP/STR)

HANYA kurang dari seperempat dari sekitar 12 juta siswa Myanmar mendaftar sekolah pada tahun ajaran baru di tengah boikot terhadap kekuasaan militer dan setelah serangkaian pemboman.

Ada lebih sedikit siswa di banyak sekolah di Kota Yangon ketika tahun ajaran baru dimulai, Selasa (1/6), sejak kudeta 1 Februari dan pelonggaran pembatasan yang diberlakukan tahun lalu terhadap penyebaran covid- 19.

Pasukan keamanan berjaga di beberapa sekolah dan menemani siswa di bawah pengawalan bersenjata dari rumah mereka.

Baca juga: WHO Serukan Akses Tanpa Hambatan Bantuan Kemanusian ke Gaza

Seorang pejabat Federasi Guru Myanmar, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan lebih sedikit siswa yang datang daripada yang terdaftar karena orangtua mengkhawatirkan keamanan anak mereka, serta bergabung dengan aksi boikot.

“Guru juga takut,” katanya.

"Beberapa guru pergi ke sekolah dengan pakaian biasa dan berganti seragam hanya di dalam sekolah,” tambahnya.

Sekolah telah menjadi medan pertempuran lain untuk protes terhadap junta yang merebut kekuasaan pada 1 Februari, menangkap pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi dan menghentikan satu dekade reformasi demokrasi tentatif.

Surat kabar Global New Light of Myanmar, yang dikontrol junta, mengutip kepala sekolah di kotapraja Kamayut Yangon, Win Win Nwe yang mengatakan sekitar 30% siswa telah terdaftar di sana.

"Para guru, anggota keamanan dan tetua kota akan memberikan keamanan bagi para siswa," katanya.

Garis depan

Guru dan siswa berada di garis depan protes antijunta dan federasi guru mengatakan lebih dari 125.000 guru, dari total sekitar 430.000 orang, telah diskors karena bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil.

Ungkapan "Kami tidak menyekolahkan anak-anak kami" telah menjadi trending di media sosial, sejak pertengahan Mei lalu.

Seorang ibu, Thinn Thinn Hlaing, mengunggah bahwa anak-anaknya tidak akan pergi ke sekolah, untuk menunjukkan simpati kepada orangtua yang anaknya terbunuh dalam protes, serta untuk menunjukkan rasa hormat kepada guru yang mogok dan menentang sistem, karena takut gelombang baru covid-19 dan karena pengeboman di dekat sekolah.

"Semua ibu, tolong terus berjuang," tulis Su Mon Han, ibu lain yang berencana mengajar putranya yang berusia tujuh tahun di rumah.

Junta mengeluh kelompok teroris politik ekstrim, yang ingin menghancurkan kepentingan nasional telah mengancam siswa dan guru untuk mengganggu aktivitas pendidikan.

“Antara 1-26 Mei, ada 115 pengeboman atau upaya pengeboman dan 18 serangan pembakaran di tempat-tempat pendidikan,” katanya dalam sebuah pernyataan.

Pemerintah Persatuan Nasional yang dibentuk oleh lawan junta mengatakan sedang mengerjakan proyek pendidikan bergerak, meskipun ada pembatasan internet yang ketat sejak kudeta.

Sedikitnya 57 dari 841 orang yang tercatat dibunuh oleh pasukan keamanan sejak kudeta berusia di bawah 18 tahun, menurut kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik. (Straitstimes/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya