ASEAN Diminta Lebih Tegas pada Junta Militer Myanmar

Atikah Ishmah Winahyu
23/4/2021 10:30
ASEAN Diminta Lebih Tegas pada Junta Militer Myanmar
Logo ASEAN dikelilingi bendera negara-negara anggotanya.(ANTARA/Widodo S. Jusuf)

NASIB demokrasi Myanmar yang baru lahir akan mendominasi KTT khusus ASEAN di Indonesia, akhir pekan ini. Kursi Myanmar pada pertemuan itu akan diisi oleh kepala pemerintahan militer baru negara itu, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang melakukan perjalanan luar negeri pertamanya sejak kudeta.

Hal itu memicu kecaman dari pengunjuk rasa dan pengamat yang mengatakan kawasan itu terlalu berhati-hati dalam menangani krisis. Bagi Duta Besar yang telah dipecat oleh junta Myanmar, Kyaw Moe Tun, masih ada peluang untuk menyelamatkan Myanmar jika ASEAN bertindak lebih tegas.

"Mereka perlu mengambil tindakan lebih kuat terhadap militer," kata Kyaw dalam sebuah wawancara.

Baca juga: Thailand Sebut KTT Soal Krisis Myanmar Ujian Kredibilitas ASEAN

"Kami menghargai dukungan yang mereka berikan kepada masyarakat di Myanmar tetapi tanpa tindakan yang lebih agresif, lebih banyak orang akan mati,” imbuhnya.

Para pemimpin ASEAN belum secara resmi mengundang anggota aliansi prodemokrasi Myanmar yang dikenal sebagai Pemerintah Persatuan Nasional ke pertemuan pada Sabtu (24/4) di Jakarta.

Sementara itu, beberapa pemimpin seperti Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-Ocha dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan tidak akan hadir dan akan digantikan oleh perwakilan mereka, tanda ketidaksetujuan yang relatif kuat untuk sebuah blok yang secara historis menghindari pernyataan terbuka semacam itu.

Dalam sebuah surat tertanggal Selasa (20/4) kepada Brunei yang memegang kursi bergilir ASEAN, diplomat tertinggi dari Pemerintah Persatuan Nasional paralel Myanmar mengatakan belum menerima undangan untuk pertemuan tersebut.

"Akan lalai jika ASEAN gagal mendengarkan suara rakyat Myanmar,” bunyi surat yang ditulis oleh menteri luar negeri Pemerintah Persatuan Nasional Zin Mar Aung.

"Ini sangat penting bahwa ASEAN berdiri bersama rakyat Myanmar, bukan dengan para pemimpin kudeta yang menindas dan tidak sah,” tambahnya.

Sejak kudeta, negara-negara Asia mengutuk kekerasan dalam berbagai tingkatan sambil berhenti mendukung sanksi atau tindakan lain yang akan mempengaruhi keuangan militer. Para pemimpin dari banyak negara Barat dan organisasi internasional ingin melihat lebih banyak upaya.

"Saya telah berulang kali meminta masyarakat internasional untuk bekerja, secara kolektif dan melalui saluran bilateral, untuk membantu mengakhiri kekerasan dan penindasan oleh militer," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres Senin.

Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield awal bulan ini meminta negara-negara ASEAN untuk meninjau kembali hubungan keuangan dan lainnya dengan militer.

"Militer perlu merasakan akibat yang terkait dengan tindakan mengerikannya," katanya kepada anggota Dewan Keamanan PBB bulan ini.

"Pada titik ini, hanya tindakan nyata yang akan mengubah perhitungan militer,” lanjutnya.

Pertemuan ASEAN terjadi ketika militer berjuang untuk mengambil kendali atas populasi yang telah menolak kekuasaannya di setiap langkah sejak kudeta.

Para pengunjuk rasa, termasuk pelajar, pegawai negeri dan bahkan diplomat, telah menolak untuk mengindahkan perintah junta untuk melanjutkan tugas mereka, membuat ekonomi jatuh bebas di tengah serangan kekerasan yang terus-menerus terhadap warga sipil.

"Sulit untuk mengecilkan risiko di negara yang sangat beragam etnik yang dihuni dengan berbagai gerakan bersenjata dan aktor bersenjata," kata Ashish Pradhan, analis senior PBB di International Crisis Group, ketika ditanya tentang potensi Myanmar untuk turun menjadi siklus kekerasan yang lebih luas.

Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein mengatakan negaranya akan mengulangi seruan untuk pembebasan tanpa syarat dan segera bagi para tahanan politik, termasuk pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, yang akan menghadiri pertemuan di Jakarta, akan mendorong Myanmar menerima pengamat regional di lapangan.

Bagi Kyaw, serta lebih dari puluhan diplomat lainnya di tempat-tempat seperti Tel Aviv, London, dan Tokyo yang telah berbicara menentang kudeta, menyaksikan diplomasi bergerak perlahan sementara rakyat mereka ditembak mati atau disiksa sangat menyakitkan.

Utusan itu, yang pindah bersama keluarganya ke New York dari Jenewa hanya beberapa bulan sebelum kudeta, tahu taruhannya juga tinggi. Kegagalan untuk membalikkan kudeta dapat memaksanya mencari suaka bagi dirinya sendiri, istrinya, dan anak-anaknya.

Untuk saat ini, ekspatriat Myanmar di New York bersikeras menggiringnya bolak-balik antara rumahnya di pinggiran kota dan kantor Manhattan untuk perlindungan.

"Saya mengerti dampaknya bisa sangat tinggi, tapi saya tidak punya pilihan selain berbicara," katanya.

"Saya mencoba untuk tidak memikirkannya sekarang dan saya melihatnya sebagai pilihan terakhir,” tandasnya. (Straitstimes/OL-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya