Headline
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.
Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.
PENYUSUTAN ukuran rumah subsidi dinilai dapat menimbulkan dampak serius terhadap kehidupan keluarga Indonesia. Hal itu disampaikan Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University Yulina Eva Riany dalam keterangan yang disampaikan di sela aktivitasnya sebagai dosen di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Jumat (20/6).
Menurut Yulina, rumah subsidi yang semakin kecil tidak hanya berdampak pada kenyamanan fisik, tetapi juga mengganggu kualitas hubungan antara anggota keluarga.
"Ketika setiap ruang menjadi ruang bersama, tidak ada lagi batas sehat antara fungsi, peran, dan kebutuhan pribadi," ujarnya.
Kondisi ini, katanya, berpotensi memicu konflik, stres, dan kelelahan emosional.
Ia menambahkan, anak-anak membutuhkan ruang bermain dan belajar yang memadai. Sementara lansia, membutuhkan ruang yang aman dan tenang.
Rumah yang sempit, lanjutnya, dapat menyebabkan stres kronis dan berdampak pada kesehatan mental seluruh anggota keluarga.
Minimnya privasi juga menjadi isu utama. Konflik rumah tangga bisa timbul akibat hal-hal kecil seperti jadwal kerja atau kebutuhan hiburan yang tumpang tindih.
"Terutama bagi ibu muda, termasuk gen Z, ruang yang sempit memperparah burnout karena tidak adanya ruang relaksasi," ujarnya.
Dampaknya bisa meluas hingga gangguan mood, kecemasan, bahkan depresi ringan.
Dari sisi fisik, rumah yang kecil dan padat sering kekurangan ventilasi dan pencahayaan alami. Hal ini bisa meningkatkan risiko penyakit seperti gangguan pernapasan.
Kualitas material bangunan yang rendah juga membuat rumah subsidi rentan terhadap kerusakan dan meningkatkan biaya pemeliharaan jangka panjang.
"Secara ironis, rumah subsidi yang seharusnya jadi solusi justru bisa menjadi beban ekonomi baru karena renovasi mandiri yang tidak sesuai standar dan pengeluaran tambahan," kata Yulina.
Ia juga menyoroti minimnya ruang publik di kawasan rumah subsidi. Jalan yang sempit, kurangnya taman, dan jauhnya dari pusat aktivitas menyebabkan interaksi sosial warga menjadi terbatas. Anak-anak kesulitan membangun relasi sosial, sementara pasangan muda kehilangan dukungan sosial yang penting.
Bagi pasangan Gen Z yang memulai hidup rumah tangga, ukuran rumah subsidi yang rata-rata hanya 36 meter persegi dirasa tidak memadai.
Apalagi jika mereka bekerja dari rumah, karena tidak adanya ruang kerja khusus menyebabkan tumpang tindih antara aktivitas profesional dan domestik.
Yulina menegaskan penyusutan ukuran rumah subsidi dipicu oleh tekanan ekonomi dan kebijakan pembangunan yang mengutamakan efisiensi lahan. Namun, menurutnya, kebijakan tersebut belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan keluarga multigenerasi yang lazim di Indonesia.
"Alih-alih menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman, rumah subsidi berisiko berubah menjadi sumber tekanan baru bagi keluarga," pungkasnya. (Z-1)
BADAN Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) mendorong agar akad kredit Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hanya boleh dilakukan ketika rumah sudah siap huni.
Usulan rumah subsidi 14 meter persegi (m²) oleh Lippo Group menuai perhatian luas dan memicu perdebatan soal status serta regulasi.
Keberadaan rumah subsidi berukuran kecil menjadi krusial di kawasan perkotaan karena harga lahan cenderung tinggi dan ketersediaannya terbatas.
Dalam peraturan sebelumnya yakni Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, luas tanah rumah tapak minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi.
Menurut Ara, rincian subsidi rumah ini akan diumumkan rinci pada waktunya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved