Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Visi Pendidikan Ki Hadjar Belum Tercapai

Tri Subarkah
15/5/2025 19:39
Visi Pendidikan Ki Hadjar Belum Tercapai
Ilustrasi.(MI)

SOEWARDI Soerjaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara merupakan pelopor pendidikan di Indonesia yang melampaui zaman. Saat mendirikan Taman Siswa pada 1922, ia menekankan bahwa sekolah bukan sekadar ruang kelas untuk transfer ilmu pengetauan satu arah antara guru dan murid, tapi juga penanaman nilai dan motivasi.

Kendati demikian, sampai saat ini, visi pendidikan yang dicanangkan oleh Ki Hadjar belum mampu tercapai. Pendiri dan CEO Redea Institute (HighScope Indonesia), Antarina SF Amir, mengatakan, pandangan Ki Hadjar soal sekolah tidak hanya menitikberatkan pada penilaian angka, melainkan keputusan dari para siswa untuk mengambil kepuusan dan menyelesaikan masalah.

"Perubahannya (sistem pendidikan di Indonesia) sangat lama, belum terjadi dari yang Eyang ajarkan di 1900-an awa," ujar Antarina yang juga cucu dari Ki Hadjar dalam acara bedah buku Ki Hadjar: Sebuah Memoar di NasDem Tower, Jakarta, Kamis (15/5).

Tak Dibatasi Ruang Kelas?

Penulis buku bertajuk Ki Hadjar: Sebuah Memoar, Haidar Musyafa menilai Menteri Pendidikan pertama RI itu sangat menarik. Ki Hadjar, sambungnya, menggabungkan kurikulum yang didapat saat mengenyam pendidikan pada sekolah Belanda dan pondok pesantren di daerah Kalasan, Yogyakarta, dalam mendirikan Taman Siswa.

Hasilnya, diperoleh sistem pendidikan yang tak hanya terbatas pada ruang kelas. Menurutnya, di Taman Siswa, guru juga mengajak siswa untuk belajar dari alam di luar ruang kelas. Dengan demikian, kreatifitas siswa dapat berkembang dengan baik.

"Kita itu cerdas, tapi sistem pendidikan itu kadang membatasi kita. (Visi pendidikan) Ki Hadjar itu enggak, justru memberikan pendidikannya memang benar-benar dididk di alam," katanya. 

"Contohnya, Ki Hadjar saat mengajarkan matematika, tidak hanya di papan tulis, tapi mengajar anak-anak peserta didik ke luar, menyiapkan batu krikil untuk menghitung  5 (batu) tambah 5 (batu) adalah 10 (batu). Bahwa bunga mawar ada yang merah, putih. Itu langsung diajak ke alam," sambung Haidar.

Kebijakan Pendidikan?

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Yayasan Sukma Ahmad Baidhowi AR menyoroti bahwa salah satu semboyan pendidikan yang dipopulerkan Ki Hadjar, yakni ing madya mangun karsa, hampir tidak pernah diterapkan dalam diktum skema kebijakan pendidikan nasional. 

Semboyan itu menggambarkan pentingnya partisipasi masyarakat untuk membangun pendidikan nasional. Namun, ia mengatakan pendidikan saat ini justru kerap dijadikan komoditas politik oleh para politikus dan kepala daerah yang menjanjikan pendidikan gratis.

"Apa yang diajarkan oleh Ki Hadjar harusnya terimplementasi dengan baik dalam skema sisitem pendidikan nasional. Sekarang orangtua seakan-akan semuanya harus menunggu pemerintah. Ada makan gratis, anaknya nakal dibawa ke barak, eksesnya akhirnya masyarakat menjadi sangat tergantung," terang Baidhowi. (Tri/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya