Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
PARA ilmuwan saraf di Fralin Biomedical Research Institute, Virginia Tech, tengah meneliti bagaimana obesitas memengaruhi sirkuit otak yang berkaitan dengan penghargaan (reward), motivasi, dan pemrosesan emosi.
Angka obesitas di Amerika Serikat terus meningkat. Berdasarkan survei terbaru National Health and Nutrition Examination, sekitar 40% orang dewasa di atas usia 20 tahun kini tergolong obesitas, angka ini naik dari sekitar 30% dua dekade lalu.
Obesitas menjadi faktor risiko utama bagi diabetes tipe 2 serta berbagai kondisi kesehatan serius lainnya. Meski dunia medis telah banyak mengalami kemajuan, pola makan buruk diperkirakan masih menyumbang lebih dari 300.000 kematian setiap tahunnya di AS.
"Keputusan-keputusan seputar makanan sangat memengaruhi kondisi kesehatan ini," ujar Alexandra DiFeliceantonio, asisten profesor di Fralin Biomedical Research Institute dan wakil direktur sementara Center for Health Behaviors Research.
"Pilihan makanan adalah salah satu faktor utama yang bisa diubah dan berperan besar dalam beban penyakit," tambahnya.
DiFeliceantonio tergabung dalam tim peneliti lintas disiplin yang mempelajari bagaimana obesitas berdampak pada sirkuit otak yang berkaitan dengan penghargaan, motivasi, dan emosi.
Proyek ini didanai oleh hibah selama empat tahun senilai 2,75 juta dolar AS dari National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases, yang merupakan bagian dari National Institutes of Health.
Penelitian ini bertujuan menjembatani kesenjangan antara studi pada hewan dan manusia serta menjadi landasan untuk meneliti bagaimana sistem penghargaan otak terhadap makanan berkaitan dengan indikator kesehatan metabolik dan penyakit.
Peneliti utama lainnya adalah Matt Howe, asisten profesor ilmu saraf dari College of Science di Virginia Tech, dan Read Montague, direktur Center for Human Neuroscience Research di Fralin Biomedical Research Institute.
Meski penelitian pada lebah, tikus, dan primata non-manusia telah menunjukkan peran bahan kimia otak tertentu dalam mengatur respons terhadap makanan dan penghargaan, para ilmuwan baru belakangan ini bisa melacak aktivitas bahan kimia tersebut secara langsung di otak manusia.
"Sebelum inovasi yang dikembangkan dr. Montague, kita tidak punya cara untuk mengukur sinyal ini dalam hitungan detik saat seseorang menjalani tugas terkait makanan," jelas DiFeliceantonio.
"Ini penting karena beberapa temuan dasar dalam ilmu saraf mungkin memiliki perbedaan ketika diterapkan pada manusia," lanjutnya.
Studi ini akan menggunakan teknik elektro-kimia canggih yang dikembangkan oleh Montague, seorang ahli saraf komputasi, dan timnya.
Penelitian ini melibatkan pengukuran neurokimia lewat alat yang ditanam secara bedah di otak pasien epilepsi untuk memantau kejang, dan dilakukan bersama Robert Bina, ahli bedah saraf dari Banner Health, University of Arizona.
Para ilmuwan akan mengukur aktivitas bahan kimia otak yang berkaitan dengan motivasi dan penghargaan saat partisipan meminum minuman manis melalui alat pompa khusus serta mengerjakan tugas yang berhubungan dengan emosi dan kata-kata bertema makanan.
Tujuannya adalah memahami bagaimana indikator metabolik dari kesehatan atau penyakit memengaruhi pengambilan keputusan.
"Penting untuk mengukur berbagai jenis penghargaan agar kita tahu apakah bahan kimia otak ini merespons hal sederhana seperti rasa manis dengan cara yang sama seperti hal kompleks, misalnya bahasa," ujar Matt Howe.
"Semua obat yang digunakan untuk mengatasi kelebihan berat badan dan obesitas menargetkan area penghargaan di otak," kata DiFeliceantonio.
"Sebagian besar bukti menunjukkan bahwa bahkan setelah berat badan turun, kondisi otak tidak langsung kembali seperti semula sebelum kenaikan berat badan," tambahnya.
Ia menegaskan pentingnya memahami proses ini sebagai dasar pengembangan intervensi generasi berikutnya.
Sumber: Scitechdaily
Pembatasan bertujuan agar anak tidak terpengaruh mengonsumsi makanan dengan kandungan garam, gula dan lemak tinggi yang kerap kali dipromosikan melalui iklan.
Obesitas terbukti meningkatkan risiko kanker empedu melalui pembentukan radikal bebas dan peradangan kronis.
Data terbaru Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat bahwa 19,7% anak usia 5–12 tahun dan 14,3% anak usia 13–18 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Penurunan berat badan ternyata tak hanya mengurangi lemak, tapi juga 'meremajakan' jaringan lemak di tingkat sel.
Diabetes melitus dan obesitas dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kanker kandung empedu yang signifikan.
Dalam dunia kerja, obesitas dapat mengganggu keberlangsungan produktivitas (brain fog) dan penurunan kesehatan karena penyakit penyerta dari obesitas.
Makan berlebihan bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved