Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
KONSUMSI gula yang tinggi tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan fisik, tetapi juga berhubungan erat dengan peningkatan risiko gangguan mental, termasuk depresi. Hal ini diungkapkan oleh Dokter Spesialis Gizi Klinik di RS Pusat Otak Nasional (RSPON) Rozana Nurfitria Yulia dikutip dari Antara Kamis (23/1).
“Sayangnya, gula memang terkait erat dengan depresi. Banyak orang yang mengira bahwa mengonsumsi makanan atau minuman manis bisa menjadi solusi ketika merasa tertekan. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. Gula hanya akan memperburuk kondisi,” jelas Rozana.
Konsumsi gula berlebih dapat memicu peningkatan hormon kortisol, yang dikenal sebagai hormon stres. Gula yang tinggi dalam tubuh menyebabkan inflamasi atau peradangan, yang kemudian merangsang pelepasan kortisol.
Kondisi ini menciptakan lingkaran setan di mana gula darah meningkat, hormon stres melonjak, dan risiko depresi semakin tinggi.
“Kortisol yang meningkat akibat konsumsi gula berlebih justru memperparah kondisi mental. Jadi, mengonsumsi gula ketika sedang merasa tertekan bukanlah solusi, melainkan masalah baru,” tambahnya.
Rozana mengutip sebuah penelitian besar yang melibatkan 1,3 juta orang. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumsi gula sebanyak 100 gram per hari dapat meningkatkan risiko depresi hingga 28%. Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya untuk membatasi asupan gula, terutama dari minuman yang kandungan gulanya sering tidak disadari.
“Masyarakat perlu lebih waspada terhadap konsumsi gula, terutama dari minuman manis yang sering kali tidak kita ketahui kandungannya. Asupan gula yang tinggi tidak hanya berhubungan dengan penyakit metabolik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental,” katanya.
Gula berasal dari karbohidrat yang dipecah menjadi glukosa oleh tubuh. Glukosa menjadi sumber energi utama otak, dengan sekitar 20% dari asupan karbohidrat digunakan untuk kebutuhan energi otak. Namun, kelebihan glukosa dapat memengaruhi fungsi otak secara negatif.
“Konsumsi gula berlebih dapat memengaruhi fungsi memori otak. Gula yang tinggi memicu pelepasan dopamin, hormon yang memberikan rasa senang, sehingga menimbulkan efek adiktif. Akibatnya, orang cenderung ingin mengonsumsi gula lagi dan lagi,” papar Rozana.
Efek adiktif dari gula bahkan disamakan dengan zat adiktif seperti narkotika. Ketika seseorang terbiasa dengan kadar gula tertentu, tubuh akan membutuhkan dosis yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama.
Misalnya, jika hari ini satu sendok gula dalam teh sudah cukup, esok harinya mungkin diperlukan dua sendok untuk mendapatkan rasa yang sama.
“Efek adiktif gula tidak hanya memengaruhi kesehatan fisik, tetapi juga memengaruhi memori. Orang yang sering mengonsumsi karbohidrat tinggi cenderung menjadi pelupa. Jadi, jika Anda sering lupa-lupa, coba periksa asupan gula Anda,” ungkapnya.
Konsumsi gula yang berlebihan tidak hanya meningkatkan risiko penyakit metabolik, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan mental dan fungsi otak.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih memperhatikan asupan gula dalam makanan dan minuman sehari-hari.
“Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mari kita jaga asupan gula untuk kehidupan yang lebih sehat dan bahagia,” tutup Rozana. (Ant/Z-10)
Fenomena ini, menurut Kak Seto, tak lepas dari lemahnya interaksi sosial di dunia nyata, yang semakin tergeser oleh aktivitas di dunia maya.
Dengan kandungan air yang tinggi, melon menjadi pilihan yang sangat baik untuk mengatasi rasa haus.
Olahraga selama ini identik dengan tubuh bugar dan sehat. Namun, manfaatnya melampaui aspek fisik — kesehatan mental juga ikut terjaga.
Screen time yang berlebihan dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan, baik itu kesehatan fisik maupun kesehatan mental.
Olahraga bukan hanya untuk fisik, tapi juga kesehatan mental. Temukan bagaimana aktivitas fisik dapat meredakan stres, depresi, dan tingkatkan suasana hati.
Benarkan bulan punya efek signifikan pada gangguan tidur, kesehatan menatl dan siklus menstruasi?
Banyak yang keliru membedakan antara kecemasan (anxiety) dan depresi. Ini perbedaannya.
Kekurangan kasih sayang bukan hanya soal perasaan, dalam jangka panjang, dampaknya bisa sangat serius bagi kesehatan mental dan fisik
PENELITIAN di Finlandia menemukan hubungan antara mikrobioma atau bakteri usus tertentu dan depresi. Hasil penelitian itu dimuat dalam laman Science.
Diet yang mengurangi asupkan kalori secara ekstrem, bisa berdampak serius pada kesehatan mental.
Orang depresi dalam kondisi relapse bisa sangat sulit untuk membuka mata, apalagi berinteraksi atau melakukan aktivitas.
"Kalimat 'semangat ya' itu seringkali tidak membantu, malah memperburuk keadaan. Lebih baik katakan, 'aku nggak tahu kamu sedang melalui apa, tapi aku ada di sini kalau kamu butuh'.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved