Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Ini Alasan Pakar Desak Pemerintah Cabut Permen LH 7/2014

Dede Susianti
14/12/2024 20:29
Ini Alasan Pakar Desak Pemerintah Cabut Permen LH 7/2014
Ilustrasi(MI/DEDE SUSIANTI)

KALANGAN akademisi mendesak pemerintah untuk mencabut dan menggatni  Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014. Sejumlah pakar menilai terjadi malapraktik atau penyimpangan dalam implementasinya. Hal tersebut menjadi tema diskusi "Menghitung Kerugian Kerusakan Lingkungan dengan Permen LH 7/2014, Tepatkah?" Diskusi digelar di Auditorium Satari, Kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, kemarin. 

Hadir sebagai narasumber  Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Sudarsono Soedomo,  Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB, Prof Akhmad Fauzi dan pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, Sadino. 

Dalam diskusi yang dihadiri ratusan orang ini, mereka mrmbeberkan sejumlah catatan permasalahan di Permen LH nomor 7 Tahun 2014  dan solusinya. 

Salah satu pemapar, Sadiino, seorang pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, juga berpendapat bahwa regulasi Permen LH No 7/2014 sebagai malpraktik.  Bahkan saat itu dia membeberkan banyaknya korban dari malpraktik permen tersebut. 

Hingga saat ini, sedikitnya sudah ada 42 perusahaan menjadi korban perkara lingkungan menggunakan Permen LH No 7/2014. Total nilai kerugian yang dihitung mencapai Rp 29 triliun. 

“Regulasi Permen no 7 sudah malpraktik. Saya pernah komplain ke Kadin. Ada 42 perusahaan jadi korban perkara lingkungan. Salah satu contohnya  PT CA yang dipaksa membayar denda miliaran rupiah, tapi tidak pernah ada pemulihan. Kenapa Permen jadi PNBP? Perhitungan sebenarnya sulit tapi putusannya gampang banget,”papar Sadino. 

Pun demikian dengan paraneter yang digunakan sama. Tidak ada pembedaan. Hal itu kontradiktif dengan hutan atau lahan yang ada klasifikasinya atau zona-zonanya. 

“Agak mengherankan kalau pengusaha diberi izin tapi lahan tak bisa dieksploitasi. Kalau gitu tutup saja semua. Yang lebih parah setelah pengusaha mengolah dia dipidana".

"Hitungannya semua parameternya disamakan. Padahal ada hutan konservasi, ada hutan produksi. Jadi cara hitungnya tidak sama. Lebih aneh misal ada perusahaan yang modalnya hanya puluhan atau ratusan miliar, tapi dihukum triliunan. Maka tak heran kalau ada 5 prusahaan yang memilih mempailitkan diri,” lanjutnya.

Dalam ksesempatan itu, Sadino juga  mengkritisi perihal isu kerusakan lingkungan ditarik ke ranah korupsi. 

Menurutnya, kerugian lingkungan bukan kerugian negara, jadi seharusnya dikembalikan ke lingkungan. Sadino mengingatkan dalam beleid perlu ada pemilahan sektor menyangkut lingkungan.

“Karena nafas dalam Permen LH No 7 itu semua dipulihkan menjadi hutan. Padahal lahan itu sudah diproyeksi jadi lahan perkebunan, misalnya. Bagaimana itu dihutankan. Sehingga harus dipilah- pilah. Kalau untuk privat seperti apa hitungannya, terus kalau hutan alam seperti apa, apalagi konservasi seperti apa, kalau masih satu aturannya standarnya masih satu, semua akan rugi,” pesannya.

Sadino melanjutkan, kondisi ini tidak sejalan dengan pencanangan program Presiden Prabowo tentang ketahanan pangan dan energi. 

“jadi sekarang pelaku usaha akan takut. Pada saat dia membuka lahan, maka mereka akan dianggap merusak lingkungan.  Saya pikir orang tidak mau usaha, dengan risiko yang sangat tinggi,” kata Sadino. 

“Akhirnya program pak prabowo, terhadap ketahanan pangan dan energi kalau tanpa didukung dengan kesediaan lahan yang bisa dikelola dengan baik. Mau menanam di mana? Apa yang mau ditanam. Harapan kami direvisi, peraturan menteri ini semua diubah, agar semua harus jelas,” tutupnya.

Diketahui sebelumnya, masyarakat sempat dihebohkan dengan pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebutkan adanya kerugian lingkungan yang mencapai Rp 300 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Kejaksaan menggunakan Permen LH No 7/2014 ini sebagai dasar penghitungan kerugian negara dalam kasus tersebut. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya