Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Akibatkan Kerusakan Lingkungan, Para Pakar Desak Pemerintah Cabut Permen LH 7/2014

Dede Susianti
14/12/2024 19:00
Akibatkan Kerusakan Lingkungan, Para Pakar Desak Pemerintah Cabut Permen LH 7/2014
Ilustrasi(MI/DEDE SUSIANTI)

DESAKAN pencabutan dan penggantian Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014, muncul dari kalangan para akademisi dan praktisi. 

Dalam diskusi pembahasan khusus "Menghitung Kerugian Kerusakan Lingkungan  dengan Permen LH 7/2014, Tepatkah?", sejumlah pakar menilai terjadi adanya malapraktik (penyimpangan) dalam implementasinya. 

Diskusi digelar di Auditorium Satari, Kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/12).

Hadir sebagai narasumber  Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Sudarsono Soedomo,  Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB, Prof Akhmad Fauzi dan pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, Sadino. 

Dalam diskusi yang dihadiri ratusan orang ini, mereka mrmbeberkan sejumlah catatan permasalahan di Permen LH nomor 7 Tahun 2014  dan solusinya. 

Pemapar pertama, Sudarsono Soedomo, menekankan bahwa kepedulian terhadap lingkungan, tidak lantas mengorbankan kepentingan lain. Termasuk sisi ekonomi. Dia membeberkan sejumlah persoalan yang  menjadi latar belakang desakan pencabutan dan pergantian Permen LH No 7 Tahun 2014. 

Dia mencontohkan, perhitungan kerugian lingkungan dalam Permen LH No 7 tahun 2014, secara metodologis adalah bermasalah. 

"Banyak terjadi double counting. Metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena elemen yang terhitung dua kali, bahkan bisa tiga kali,"ungkapnya.

Dia menyebutkan, terjadi malapraktik dalam menghitung kerugian lingkungan yang perlu segera dikoreksi.  Kerugian lingkungan yang terjadi di dalam wilayah izin adalah menjadi tanggung jawab negara.

Penggunaan Permen LH No 7 Tahun 2014 sebagai penghitung kerugian negara dalam kasus hukum. Parahnya lagi, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tak lantas dikembalikan untuk pemulihan lingkungan yang rusak. 

“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak.  Bayangkan, PNBP, artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka  kerusakan negara harus tinggi, apa begitu, itukan salah logika,” kata Sudarsono.

“Kerugian lingkungan itu, oke kita hitung, terus kemudian berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi pada lingkungan. Bukan PNPB. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Itu yang tidak terjadi,”imbuhnya.

Persoalan lain, lanjut Sudarsono,  di salah satu pasal di Permen LH itu, ahli yang ditunjuk menghitung kerugian dengan menerapkan Permen LH No 7/2014 di berbagai kasus hukum adalah ahli yang bersaksi.  Penunjukan ahlinya pun oleh setingkat Dirjen.

Dengan kondisi seperti itu, ada kesan negara secara tidak langsung menjadikan beleid tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP, dengan dalih kerusakan lingkungan. 

“Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP). Jadi PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan tapi jadi mobil baru. Yang menikmati bukan rakyat terdampak,” ungkapnya. 

Ada dua rekomendasi yang disampaikan Sudarsono.  Pertama segera menyusun peraturan baru guna menggantikan Permen 7/2014.

"Mendorong pemerintahan Prabowo mencabut dan menggantikannya dengan Peraturan Pemerintah (PP),"katanya. 

Kemudian pada pelaksanaannya nanti, harus melibatkan akademisi di foum-forum akademik. Hal itu untuk memastikan kebenaran prosedur dan metoda penghitungan yang digunakan, sehingga nilai kerugian lingkungan dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat. 

Rekomendasi kedua, sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, harus dilakukan pembatasan.

"Demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan sebaiknya sangat dibatasi atau dihentikan sama sekali,” pungkasnya.

Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB, Prof Akhmad Fauzi, berpendapat di Indonesia ganti rugi kerusakan lingkungan menjadi penghasilan negara bukan pajak (PNBP). Sementara di luar negeri seperti Amerika sebagian besar dikembalikan ke alam bukan jadi pendapatan negara.

"Selain itu di Amerika perhitungan kerugian negara juga harus didiskusikan secara panel,” ucapnya.  (H-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya