Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mewujudkan Kesetaraan bagi Disabilitas

Atalya Puspa
12/12/2024 12:36
Mewujudkan Kesetaraan bagi Disabilitas
Festival Setara Berdaya Media Indonesia(instagram/@mediaindonesia)

 

KESETARAAN bagi individu dengan disabilitas merupakan isu yang mendesak untuk diwujudkan dalam masyarakat yang inklusif. Psikolog anak Feka Angge Pramita menekankan pentingnya meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap kebutuhan khusus individu disabilitas untuk menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan memberdayakan.  

“Kita, masyarakat, sering tidak tahu ciri-ciri setiap disabilitas. Ketidaktahuan ini membuat kelompok ini dianggap aneh. Misalnya, saat kita berada di antara teman tuli, kalau kita bilang kita ini normal, kita malah jadi tidak mengerti. Sementara mereka berkomunikasi sendiri dengan cara mereka. Karena itu, masyarakat harus mencari tahu apa yang terjadi,” ujar Feka dalam acara Setara Berdaya yang diselenggarakan Media Indonesia, di Kantor Media Indonesia, Kedoya, Jakarta, Kamis (12/12). 

Pemahaman yang kurang ini sering kali berujung pada diskriminasi atau sikap yang justru menghambat potensi individu disabilitas. Menurut Feka, makna kesetaraan harus diartikan sebagai memberikan kesempatan, bukan sekadar memberikan bantuan yang berlebihan. 

“Kalau terlalu banyak bantuan, akan sedikit peluang individu ini menunjukkan potensi mereka. Jangan sampai justru membatasi,” jelasnya.  

Selain itu, Feka juga menyoroti peran penting keluarga, terutama orang tua dan saudara kandung, dalam mendukung anak dengan kebutuhan khusus.  Dukungan emosional dan sistem pendukung yang kuat, kata dia, menjadi elemen krusial dalam membantu anak menghadapi tantangan mereka. Namun, menerima kondisi anak disabilitas bukanlah hal yang mudah bagi banyak orang tua.  

“Kondisi anak disabilitas itu seumur hidup. Ada teori tentang kedukaan yang menjelaskan proses menerima kondisi ini. Kadang, orang tua butuh waktu untuk menerima. Kalau merasa capek atau belum siap, wajar banget. Tapi, penting untuk cari orang yang bisa mendengar cerita mereka,” tambah Feka.  

Feka juga menyoroti pentingnya keterlibatan ayah dalam proses parenting. 

“Parenting itu bukan cuma tugas ibu. Ayah juga sangat perlu terlibat. Ketika orang tua datang ke saya, hal pertama yang saya cek adalah apakah mereka sendiri baik-baik saja,” katanya.  

Di luar dukungan keluarga, masyarakat juga memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan yang inklusif. Hal ini melibatkan infrastruktur, regulasi, dan pola pikir yang memadai untuk memenuhi kebutuhan individu disabilitas.  Feka menyatakan bahwa kesetaraan bagi disabilitas bukanlah perkara sederhana, melainkan perjalanan panjang yang membutuhkan kolaborasi dari semua pihak. Dari keluarga hingga masyarakat luas, kesadaran dan empati adalah langkah awal untuk mewujudkan dunia yang lebih inklusif.  

“Harapannya, kalau kita ingin melibatkan disabilitas, kita harus bersiap. Semua infrastruktur dan regulasi harus dibuat untuk memenuhi kebutuhan semua. Kalau tidak mau repot, akhirnya kita malah mengabaikan. Disabilitas itu ada, jangan anggap kami tidak ada,” tegas Feka.  

Pada kesempatan itu, Lia Octoratrisna yang merupakan ibu dari Diva, remaja penyandang seckel synrome menyatakan bahwa membesarkan anak dengan kondisi disabilitas bukanlah hal yang mudah. Selama 20 tahun membesarkan Diva, banyak sekali tantangan yang dihadapi.  

"Dengan kondisi Diva seckel syndrome tentu awalnya membuat saya bingung. Karena di Indonesia saat ini hanya ada delapan anak yang seckel syndrome. Sangat minim informasi karena ini merupakam kelainan genetik langka," ujar Lia. 

Namun, dibanding menyerah pada keadaan, Lia terus berjuang mencari informasi terkait dengan kondisi putrinya. Hingga pada 2017 ia mulai bergabung dengan komunitas orang tua yang memiliki anak dengan seckel syndrome dan mendapatkan banyak informasi terkait dengan apa yang dialami putrinya. 

Hingga kini, Lia pun masih terus berjuang mendampingi Diva. Ia pun berharap agar pemerintah bisa memerhatikan pelayanan kesehatan untuk anak berkebutuhan khusus seperti Diva. 

"Harapannya untuk pelayanan kesehatan bagi anak berkebutuhan khusus seperti Diva. Dalam peraturan BPJS Kesehatan, pasien di atas 18 tahun tidak bisa dirawat ke poli anak , begitu juga untuk rawat inap. Saya pernah mengajukan surat kepada pihak BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan), sudah ada respons, tapi belum ada tindakan lanjutan," pungkas dia. (H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indriyani Astuti
Berita Lainnya