Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
BUDAYA patriarki membuat pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak menyadari dan memahami bahwa mereka adalah pelaku kekerasan, sehingga penting untuk merubah perspektif pelaku melalui proses rehabilitasi.
Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazumah mengatakan sistem rehabilitasi pelaku pada kasus KDRT sebagai upaya penegakan hukum di Indonesia harus didorong secara lebih baik.
“Ini penting dijalankan agar perilaku-pelaku KDRT menyadari dan berubah, supaya tidak menjadi pelaku kembali. Pusat rehabilitasi ini juga susah sekali untuk ditegakkan oleh penegak hukum baik di majelis hakim dalam menuangkan putusannya,” katanya dalam Konferensi Pers 'Menyikapi 20 Tahun UU PKDRT' secara daring pada Senin (23/9).
Baca juga : Kementerian PPPA Pastikan Selebgram Berinisial CIN Korban KDRT di Bogor Mendapat Perlindungan
Sejak UU PKDRT hadir, Zuma mengatakan baru terdapat satu putusan pengadilan kasus KDRT yang bisa merekomendasikan pemerintah untuk menerapkan rehabilitasi bagi pelaku KDRT. Sedikitnya penyelesaian kasus dan rehabilitasi pelaku menunjukkan upaya penghapusan KDRT masih jalan di tempat.
“Hal itu terjadi pada kasus KDRT yang menimpa Dokter Qory karena sempat viral. Jadi setelah sekian lama dengan ribuan kasus, baru ada satu alasan majelis hakim memutuskan rehabilitasi bagi pelaku karena pelaku didiagnosa terkena kesehatan mental sehingga melakukan kekerasan terus-menerus dan tidak menyadari harus berbuat apa,” katanya.
Upaya rehabilitasi bagi pelaku ini menurut Zuma bukan hanya sekedar perintah, tetapi juga harus diawasi melalui layanan rumah sakit kejiwaan secara komprehensif. Bahwa Jaksa tidak hanya melakukan eksekusi terhadap kasus tetapi juga memastikan bahwa pelaku mendapatkan konseling atau rehabilitasi, diharapkan nantinya menjadi salah satu cara pemutusan mata rantai kekerasan.
Baca juga : Penerapan UU KDRT belum Optimal
Menurut Zuma, berbagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), mulai dari kekerasan fisik, psikis, seksual, hingga penelantaran ekonomi dapat membuat para korban KDRT mengalami kerugian mulai dari luka fisik, trauma emosional, depresi, kecemasan, hingga masalah kesehatan mental lainnya. Pada beberapa kasus KDRT yang berat, kekerasan yang dialami berujung pada kematian, dibunuh, atau bunuh diri.
Zuma menilai sejak diimplementasikan pada 2004, UU PKDRT tidak membawa banyak perubahan khususnya dari sisi penegakan hukum dan pencegahan serta proses pemulihan bagi korban kekerasan. Dari laporan yang dilaporkan kepada kepolisian, hanya 3% kasus yang berhasil diproses secara hukum.
“Selama 2 dekade ini angka pengaduan ke lembaga layanan baik pemerintah maupun milik masyarakat semakin meningkat tapi UU PKDRT ini tidak mampu membuat penyelesaian hukumnya. Sehingga dari laporan pidana, justru banyak korban-korban KDRT yang memilih untuk proses cerai atau perdata karena itu dianggap sebagai sebuah langkah yang mudah dan tercepat,” katanya.
Baca juga : Komnas Perempuan: Korban KDRT Terjebak dalam Siklus Kekerasan
Menurut Zuma, minimnya sosialisasi, terbatasnya layanan, dan rendahnya penegakan hukum membuat korban KDRT tidak memiliki kepastian dan kekuatan posisi hukum saat berhadapan dengan pelaku, sehingga seringkali proses cerai diambil sebagai sebuah langkah yang aman bagi korban untuk segera keluar dari lingkaran kekerasan yang mereka alami.
“Hambatan yang sering terjadi pada korban-korban yang melaporkan kasusnya adalah soal perspektif penegak hukum, bahwa sebenarnya ini klasik sekali dan seringkali KDRT itu diupayakan untuk berdamai dulu, upaya kalau bisa bersama lagi atau mencabut laporan dan ini cukup kita sayangkan,” jelas Zuma.
“Sehingga tidak hanya merugikan bagi korban tetapi juga anak. Bahkan korban akan dihadapkan pada situasi mendapatkan kekerasan berulang dan berlipat, mengalami trauma bahkan pembunuhan,” lanjutnya
Zuma memaparkan data sinergi tiga lembaga FPL, Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memperlihatkan kasus-kasus KDRT selalu menempati yang paling tinggi di antara jenis kekerasan kepada perempuan.
“Pada 2023, Komnas Perempuan mencatat ada 1944 kasus KDRT, sementara KPPPA mencatat ada 6.919 kasus KDRT, dan FPL sendiri mencatat ada 2.242 kasus berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga mulai dari fisik, psikis, psikis, seksual dan penelantaran ekonomi,” tandasnya. (S-1)
74 persen kekerasan pada perempuanĀ itu terjadi di rumah tangga. Pelakunya 54 persen adalah suami, 13 persen mantan pacar, kemudian ada orang tua, guru, saudara.
Penyidik Polresta Pangkalpinang sudah mengirimkan surah perintah dimulainya penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri Kota Pangkalpinang.
Upaya pemerintah dalam mengimplementasikan pencegahan dan penegakan hukum perlindungan korban KDRT belum menunjukkan hasil yang signifikan
Stigma sosial dan budaya patriarki masih menjadi tantangan dalam mengendalikan KDRT di Indonesia,
PSIKOLOG Klinis Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya, Ella Titis Wahyuniansari, menyatakan media sosial bisa membantu korban KDRT untuk lebih terbuka.
MESKI kita sudah memiliki Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga sejak 2004 (UU No 23 Tahun 2004), angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih tinggi.
Ratna menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pendampingan baik secara hukum dan layanan konseling untuk memenuhi kebutuhan pemulihan bagi korban selama kasusnya berproses.
Semakin hari semakin banyak korban KDRT di Indonesia. Maka, Annisa berpendapat perempuan harus mengetahui hak-haknya ketika itu terjadi.
Sesuai UU, korban KDRT yang melapor ke pihak berwajib harus langsung mendapatkan perlindungan dan kasusnya ditangani dalam waktu 1x24 jam sejak keluar LP.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved