Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
SEJAK dua dekade berjalan, penghapusan kekerasan dalam rumah tangga hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah. Padahal, sejak 20 tahun yang lalu tepatnya pada 22 September 2004, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Upaya pemerintah dalam mengimplementasikan pencegahan dan penegakan hukum perlindungan korban KDRT belum menunjukkan hasil yang signifikan, hal itu membuat perempuan terutama istri kerap menjadi korban KDRT di tengah-tengah masyarakat.
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti mengatakan banyaknya kasus KDRT dan Femisida menjadi bukti bahwa implementasi UU PKDRT selama 20 tahun ini mengalami stagnan dan tidak signifikan dalam menurunkan angka kekerasan, terutama terkait dengan penegakan hukum dan pencegahannya.
Baca juga : Kementerian PPPA Pastikan Selebgram Berinisial CIN Korban KDRT di Bogor Mendapat Perlindungan
“Proses penegakan hukum di Indonesia dalam menangani perempuan korban kekerasan masih perlu diperbaiki. Misalnya penerapan pasal 16 yang seharusnya pelayanan kepada korban seperti akses rumah aman dan layanan konseling sudah harus diberikan dalam waktu 24 jam, tapi seringkali sampai sekarang masih sulit implementasinya,” katanya dalam Konferensi Pers “Menyikapi 20 Tahun UU PKDRT” secara daring pada Senin (23/9).
Khotimun menyoroti lemahnya penegakan hukum bagi korban KDRT, dalam hal ini sering kali pelaku kekerasan tidak ditahan sehingga mengancam keselamatan korban, bahkan dalam beberapa kasus, pihak Aparat Penegak Hukum (APH) mencoba untuk mempertemukan san mendamaikan pelaku dengan korban.
“Terduga pelaku sekali kali tidak langsung ditahan pasca pelaporan, bahkan ada indikasi mengancam keselamatan korban, bahwa relasi kuasa dalam perkawinan dan rumah tangga itu juga sering terjadi. Beberapa kasus bahkan diberikan restorasi justice,” katanya.
Baca juga : Kaum Perempuan Berhak Bahagia, Jangan Ragu Lawan KDRT
Khotimun menyayangkan adanya tindakan restorasi justice atau inisiatif dari kepolisian yang mencoba membujuk atau mendorong bahkan menekan korban untuk memilih jalur diperdamaikan dengan pelaku. Hal ini tidak menurutnya, tidak mewujudkan rasa keadilan bagi korban. “Sering kali juga terjadi kasus-kasus kriminalisasi kepada korban,” jelasnya.
Selain itu, Khotimun juga mendorong pemerintah terutama pihak pengadilan untuk mengedepankan asas keadilan dengan mengedepankan perspektif dan hak-hak korban serta memberi rehabilitasi bagi pelaku.
“Pelaku ketika diadili sangat jarang yang kemudian diberikan tindakan rehabilitasi. Sebanyak 10% korban KDRT masih sering dilihat sebagai pilihan murni tidak dilihat ada relasi gender yang muncul dan harus sudah mendapat perhatian. Selain pidana, juga ada sanksi perdata yang jarang diperhatikan,” tuturnya.
Pencegahan KDRT juga harus segera dikuatkan mulai dari membangun dan menyelesaikan asas persoalan relasi gender yang berkeadilan. Menurut Khotimun, perspektif pembuat kebijakan terhadap relasi keadilan gender belum bisa terbangun, bahkan masih ada substansi aturan yang sampai saat ini sebetulnya tidak adil.
“Misalnya di undang-undang perkawinan pasal 34 yang masih menempatkan posisi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan di dalam keluarga. Itu yang menjadi salah satu yang bisa menjadi akar dari kekerasan,” katanya. (Z-8)
74 persen kekerasan pada perempuanĀ itu terjadi di rumah tangga. Pelakunya 54 persen adalah suami, 13 persen mantan pacar, kemudian ada orang tua, guru, saudara.
Penyidik Polresta Pangkalpinang sudah mengirimkan surah perintah dimulainya penyidikan (SPDP) ke Kejaksaan Negeri Kota Pangkalpinang.
Zuma menilai sejak diimplementasikan pada 2004, UU PKDRT tidak membawa banyak perubahan khususnya dari sisi penegakan hukum dan pencegahan serta proses pemulihan bagi korban kekerasan.
Stigma sosial dan budaya patriarki masih menjadi tantangan dalam mengendalikan KDRT di Indonesia,
PSIKOLOG Klinis Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Menur Surabaya, Ella Titis Wahyuniansari, menyatakan media sosial bisa membantu korban KDRT untuk lebih terbuka.
MESKI kita sudah memiliki Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga sejak 2004 (UU No 23 Tahun 2004), angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih tinggi.
Ratna menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan pendampingan baik secara hukum dan layanan konseling untuk memenuhi kebutuhan pemulihan bagi korban selama kasusnya berproses.
Semakin hari semakin banyak korban KDRT di Indonesia. Maka, Annisa berpendapat perempuan harus mengetahui hak-haknya ketika itu terjadi.
Sesuai UU, korban KDRT yang melapor ke pihak berwajib harus langsung mendapatkan perlindungan dan kasusnya ditangani dalam waktu 1x24 jam sejak keluar LP.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved