Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
PENGETATAN regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti air susu ibu (ASI) lainnya telah menuai perdebatan publik. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, melarang produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lainnya untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif.
Larangan itu mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial.
Di satu sisi, peraturan tersebut diharapkan dapat mendukung program ASI eksklusif. Sebab, keberadaaan susu formula selama ini kerap dituding sebagai penyebab gagalnya ASI ekslusif. Namun, di sisi lain, peraturan ini memicu kekhawatiran publik, terutama bagi para ibu.
Baca juga : Ibu yang Minim Persiapan Bisa Sebabkan Proses Menyusui tidak Lancar
Rosa, ibu satu anak asal Depok, misalnya. Ia mengaku bingung dengan pelarangan promosi dan potongan harga susu formula ini.
“Harga susu itu sudah mahal, selama ini kita sangat terbantu dengan promosi dan diskon. Sekarang malah tidak ada lagi diskon untuk susu, sementara anak saya butuh susu tambahan. Hanya mengandalkan ASI saja tidak cukup, sementara saya juga tulang punggung keluarga. Pemerintah bisa bantu apa?” keluh Rosa.
Senada dengan Rosa, Atikah asal Bekasi juga heran dengan sikap pemerintah. Meski ia mengaku mampu memberikan ASI ekslusif untuk kedua buah hatinya, ia tetap protes dengan ketentuan promosi susu formula saat ini.
Baca juga : Menyusui Langsung Jadi Cara Efektif Cegah Mastitis pada Ibu, Benarkah?
“Pemerintah harus tahu, ibu yang waras pasti maunya kasih ASI ekslusif untuk anak, nggak cuma sampai 6 bulan, kalau bisa pasti diterusin sampai 2 tahun. Tapi, nggak semua ibu seberuntung itu. Banyak yang ASI-nya terputus dengan berbagai alasan, dan mau tidak mau mereka harus kasih susu tambahan untuk anak. Peraturan ini hanya akan membuat para ibu semakin terpuruk,” tegas Atikah.
Di sosial media, PP No 28 ini juga memicu perdebatan publik. Sebagian besar netizen yang mendukung beralasan kesulitan dalam meng-ASI-hi dapat diatasi dengan usaha yang dilakukan oleh ibu dan juga konsultasi dengan konsultan laktasi.
Namun, tidak semua orang sependapat dengan pandangan ini. Beberapa netizen berargumen bahwa tekanan untuk mengutamakan ASI terkadang tidak mempertimbangkan kondisi kesehatan atau situasi personal ibu.
Baca juga : ASI Eksklusif Berikan Manfaat Jangka Panjang bagi Bayi
Salah satu komentar yang menyoroti hal ini datang dari akun @evie_puji_suryati yang menyatakan bahwa setiap ibu memiliki kemampuan dan keadaan yang berbeda-beda dalam menyusui.
“Gak seharusnya ada tekanan berlebihan untuk para ibu, terutama jika mereka mengalami kesulitan yang signifikan. Pilihan untuk memberikan susu formula tidak seharusnya dipandang negatif, terutama jika itu adalah keputusan yang diambil demi kesehatan ibu dan bayi,” tulis akun tersebut.
Perdebatan ini menunjukkan bahwa kebijakan terkait ASI dan susu formula memang memerlukan pendekatan yang lebih inklusif dan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi kesehatan ibu dan kebutuhan bayi yang berbeda-beda.
Baca juga : Waktu Kerja Fleksibel Terbukti Bisa Sukseskan ASI Eksklusif pada Pekerja
Mengenai susu pertumbuhan untuk anak, Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengakui masih banyak kesalah pemahaman terjadi di masyarakat.
Ia menyebut, konsumsi susu untuk masa pertumbuhan anak perlu di dorong, namun sebelumnya, masyarakat harus paham susu apa yang boleh dan tidak boleh untuk anak.
Kental manis misalnya. Produk yang seharusnya hanya digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan ini hingga saat ini masih banyak digunakan sebagai minuman susu untuk anak. Penyebabnya adalah kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada saat ini tanpa adanya koreksi.
“Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Nah ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI ekslusif.
Meski demikian, ada ibu-ibu yang karena faktor tertentu tidak dapat memberikan ASI untuk anak, sehingga susu formula yang sesuai dengan usia anak adalah langkah yang dapat ditempuh.
“Kalau memang kondisi fisiknya atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” pungkas Devie. (Z-1)
Keistimewaan ASI tidak hanya terletak pada nutrisi yang dapat melindungi bayi dari infeksi, tetapi juga pada interaksi yang berlangsung setiap kali menyusui.
Keberadaan fasilitas milik RSCM ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas perawatan bayi dengan memastikan akses terhadap ASI, baik dari ibu maupun donor, berlangsung dengan aman.
Ada beberapa penyakit utama yang perlu diantisipasi dari donor ASI melalui screening ketat, seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan penyakit infeksi atau menular lainnya.
CALON Gubernur Jakarta nomor urut 1, Ridwan Kamil mengatakan akan memberikan hak cuti bagi ibu menyusui untuk memenuhi kebutuhan ASI ekslusif 6 bulan bagi bayi
Piter menilai penerapan kode etik internasional mengenai promosi produk pengganti air susu ibu atau ASI memerlukan komitmen bersama.
ASI tidak hanya menyediakan nutrisi yang lengkap dan seimbang, tetapi juga mengandung faktor imunologis yang esensial seperti antibodi, sel imun, dan protein khusus.
Karena hormon oksitosin berpengaruh terhadap produksi ASI, ibu perlu merasa nyaman, diterima, dan didukung secara emosional, terutama pada masa menyusui.
Faktor bioaktif dalam ASI itu bukan nilai nutrisi, bukan lemaknya, bukan proteinnya, tapi faktor yang dapat membantu kematangan usus dan sel-sel kekebalan.
Penggunaan ASI booster itu tetap harus ada indikasi medis.
Menyusui adalah salah satu solusi alami yang ramah lingkungan, karena mengurangi ketergantungan terhadap susu formula dan juga kemasan plastik.
Konseling laktasi perlu melibatkan semua anggota keluarga dan tidak membebankan pemberian air susu ibu (ASI) hanya pada ibu saja .
Konselor Laktasi dari Rumah Sakit Pondok Indah, Bintaro Jaya, dr. Nia Wulan Sari, menegaskan bahwa masalah tongue tie dan lip tie pada bayi tidak selalu memerlukan tindakan medis
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved