Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
AKSARA Sunda, sistem tulisan tradisional yang digunakan oleh masyarakat Sunda, memiliki sejarah yang kaya dan beragam. Aksara Sunda memiliki jejak sejarah yang mendalam, merentang dari era pra kolonial hingga era modern.
Hingga kini, pemerintah daerah misalnya, terus berupaya untuk melestarikan Aksara Sunda. Tujuannya, agar tidak punah, bahasa, baik teks maupun lisan harus diturunkan kepada generasi baru. Karena Aksara Sunda memiliki sejarah yang panjang dan berliku, masyarakat juga harus antusias mempelajarinya.
Sejak abad ke-5 Masehi, saat Kerajaan Tarumanegara berkuasa, masyarakat di wilayah Sunda telah menunjukkan kemampuan dalam menulis.
Baca juga : Menelusuri Makna Filosofis Aksara Jawa, Bukan Sekadar Bahasa Biasa!
Namun, perubahan signifikan terjadi saat masuknya masa kolonial, yang mendorong masyarakat Sunda untuk meninggalkan Aksara Sunda Kuno karena pengaruh Mataram Islam yang merambah wilayah Priangan (kecuali Cirebon dan Banten).
Transformasi ini semakin diperkuat oleh keputusan pemerintah kolonial yang tercatat dalam surat resmi pada tanggal 3 November 1705. Surat tersebut menetapkan penggunaan aksara Latin, Arab gundul (pegon), dan modifikasi aksara Jawa (cacarakan) sebagai aksara resmi di wilayah Sunda untuk keperluan komunikasi tertulis.
Modifikasi pada Aksara Sunda Kuno kemudian muncul sebagai respons terhadap perubahan ini, diadaptasi sesuai dengan kebutuhan zaman. Pada abad XX, masyarakat Sunda mulai menyadari pentingnya Aksara Sunda sebagai bagian dari identitas budaya mereka.
Baca juga : Museum Keramik, Tekstil, dan Wayang di Jakarta Kembali Dibuka
Guna melindungi warisan budayanya agar tidak terlupakan, Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 tahun 1996 mengenai Pelestarian, Pembinaan, dan Pengembangan Bahasa, Sastra, dan Aksara Sunda. Perda ini selanjutnya digantikan oleh Perda Nomor 5 tahun 2003 yang membahas Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, dan akhirnya diperbarui kembali dengan Perda Nomor 14 Tahun 2014.
Kemudian setiap daerah pun menurunkannya menjadi Peraturan Walikota atau Peraturan Bupati. Melalui aturan-aturan tersebut, cara pemerintah membumikan Aksara Sunda kepada masyarakat meliputi empat tahap, yakni pawanohan (pengenalan kembali), tahap pangagulan (lambang kebanggaan), dan tahap maibandaan (rasa memiliki). Salah satu implementasinya adalah pelajaran Bahasa Sunda di sekolah pada setiap daerah di Jawa Barat. Hal ini sangat tepat sasaran, mengingat Bahasa dan Aksara Sunda harus mengakar sejak usia belia.
Aksara Sunda, sistem tulisan tradisional yang tumbuh subur di masyarakat Sunda, menghadirkan keindahan melalui ragam jenisnya. Maka, tentu saja jika ingin menikmati keindahannya, masyarakat perlu mempelajari terlebih dahulu jenis-jenis Aksara Sunda.
Baca juga : Jawa Timur Borong Sertifikat Cagar Budaya Nasional
Aksara Swara adalah sistem penulisan vokal yang mencakup bunyi vokal dan dapat muncul di posisi awal, tengah, atau akhir suatu kalimat.
Sistem Aksara Swara terdiri dari 7 karakter, yaitu a, i, u, é, o, e, dan eu.
Baca juga : Mengenal Sumbu Kosmologis Yogyakarta yang Jadi Warisan Budaya Unesco
Aksara Ngalagena adalah simbol-simbol fonetik yang mewakili fonem konsonan dan juga dikenal sebagai aksara konsonan. Aksara ini merupakan kombinasi dari huruf-huruf yang membentuk suatu kata. Aksara Ngalagena terdiri dari 25 karakter, yaitu ka, ga, nga, ca, ja, nya, ta, da, na, pa, ba, ma, ya, la, wa, sa, ha, fa, va, qa, xa, za, kha, dan sya.
Dengan memahami jenis-jenis Aksara Sunda, kita dapat mengapresiasi lebih dalam keindahan dan makna yang terkandung dalam setiap goresannya, memelihara dan merayakan warisan ini untuk generasi mendatang.
Komponen ini berperan sebagai pelengkap dan pendamping untuk Aksara Ngalagena. Hal ini terjadi karena setiap karakter dalam Aksara Ngalagena selalu diikuti oleh huruf 'a'. Sebaliknya, Rarangkén memiliki variasi rangkaian kata dan kalimat yang menggunakan huruf vokal lainnya.
Baca juga : Sidang Nominasi Bersama Kebaya sebagai Warisan Budaya Dunia Digelar Akhir Tahun Ini
Ditinjau dari cara penulisannya, Rarangkén dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Rarangkén di atas huruf, Rarangkén di bawah huruf, dan Rarangkén sejajar huruf.
Panghulu: mengubah 'a' menjadi 'i' (ka menjadi ki)
Pamepet: mengubah 'a' menjadi 'e' (ka menjadi ke)
Paneuleung: mengubah 'a' menjadi 'eu' (ka menjadi keu)
Panglayar: menambah 'r' di akhir suku kata (ka menjadi kar)
Panyecek: menambah 'ng' di akhir suku kata (ka menjadi kang)
Panyuku: mengubah 'a' menjadi 'u' (ka menjadi ku)
Panyakra: menambah 'r' di tengah suku kata (ka menjadi kra)
Panyiku: menambah 'l' di tengah suku kata (ka menjadi kla)
Baca juga : Pegawai Kejati Jabar Terima Penghargaan sebagai Pelestari Seni dan Budaya Sunda
Panéléng: mengubah 'a' menjadi 'é' (ka menjadi ké)
Panolong: mengubah 'a' menjadi 'o' (ka menjadi ko)
Pamingkal: menambah 'y' di tengah suku kata (ka menjadi kya)
Pangwisad: menambah 'h' di akhir suku kata (ka menjadi kah)
Patén atau Pamaéh: Memutus huruf 'a' dalam suku kata (ka menjadi k)
Aksara Sunda tidak hanya sebagai alat komunikasi semata, tetapi juga menyimpan makna filosofis yang mendalam. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi makna filosofis yang terkandung dalam setiap goresan huruf Aksara Sunda.
Aksara Sunda mencerminkan kekayaan alam dan lingkungan sekitarnya. Beberapa huruf dalam Aksara Sunda memiliki bentuk yang mencirikan objek-objek alam, seperti gunung, sungai, atau pohon. Ini menunjukkan hubungan erat antara masyarakat Sunda dengan alam dan kesadaran mereka terhadap keindahan alam semesta.
Baca juga : Wamen BUMN Minta Stasiun Kereta Cepat Jadi Pusat Aktivitas Warga
Setiap huruf dalam Aksara Sunda tidak hanya sekadar karakter tulisan, tetapi juga mengandung simbolisme. Sebagai contoh, huruf "Na" dapat diartikan sebagai pohon pisang, sementara "La" dapat dihubungkan dengan tanaman pisang yang sedang tumbuh. Simbolisme ini memberikan dimensi artistik dan filosofis pada Aksara Sunda, menciptakan karya seni yang hidup dalam setiap kata yang terbentuk.
Beberapa jenis Aksara Sunda, seperti Aksara Sandangan Pamaesan, digunakan untuk menulis mantra atau doa. Ini menunjukkan hubungan yang erat antara Aksara Sunda dengan dimensi spiritualitas dan kepercayaan lokal masyarakat Sunda. Penggunaan khusus ini mencerminkan upaya untuk menjaga keseimbangan antara dunia fisik dan metafisik.
Aksara Sunda juga mencerminkan pengaruh dari sistem kepercayaan masyarakat Sunda, terutama dalam cara huruf-huruf tersebut disusun dan digunakan. Konsep-konsep seperti karma, keberuntungan, dan siklus kehidupan dapat tercermin dalam setiap pola penulisan, menambahkan kedalaman makna filosofis dalam Aksara Sunda.
Baca juga : Aksara Nusantara Bisa Bantu Pahami Karakter Indonesia
Melalui pelestarian Aksara Sunda juga bisa mencakup makna filosofis yang mendalam. Dalam upaya untuk menjaga warisan budaya dan identitas mereka, masyarakat Sunda menganggap Aksara Sunda sebagai bagian integral dari pewarisan nilai-nilai dan kebijaksanaan yang melampaui sekadar bentuk tulisan.
Melalui pemahaman makna filosofis Aksara Sunda, masyarakat dapat menghargai lebih dalam kekayaan budaya dan spiritualitas yang terkandung dalam setiap aksara. Aksara Sunda bukan hanya alat tulis, tetapi juga pintu gerbang menuju pemahaman mendalam akan kebijaksanaan nenek moyang dan hubungan yang harmonis dengan alam. Dengan keindahan dan makna filosofis mendalam, kepunahan Aksara Sunda akan menjadi bencana bagi keberagaman budaya Indonesia. Oleh karena itu, menjaga kelestarian Aksara Sunda merupakan tindakan yang harus diupayakan secara berkelanjutan. (Z-10)
Baca juga : Ini Jumlah 38 Provinsi di Indonesia dan Ibu Kotanya
PENELITI senior BRIN Lili Romli menyayangkan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tentang tidak adanya bukti yang kuat terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998.
Menurutnya, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.
Proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia ini sangat problematik dan potensial digunakan oleh rezim penguasa untuk merekayasa dan membelokkan sejarah sesuai dengan kepentingan rezim.
Pegiat HAM Perempuan Yuniyanti Chizaifah menegaskan pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tidak ada pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998
Djarot mengatakan penulisan sejarah seharusnya berdasarkan fakta, bukan berdasarkan kepentingan politik. Maka dari itu, ia mengingatkan agar sejarah tidak dimanipulasi.
KETUA DPR RI Puan Maharani menanggapi rencana Kementerian Kebudayaan untuk menjalankan proyek penulisan ulang sejarah.
Era Soekamto mengatakan akan terus melestarikan dan mempromosikan batik melalui karya-karya rancangannya sebagai seorang desainer serta menghadirkan platform Nusantara Wisdom.
DESAINER dan pelestari warisan budaya Indonesia, Era Soekamto telah menerima penghargaan dari UNESCO atas komitmennya yang berkelanjutan dalam melestarikan budaya
Penguatan identitas sebagai sebuah bangsa juga mampu menumbuhkan kohesi sosial yang bisa menjadi pendorong untuk mengakselerasi proses pembangunan.
ADA hal yang menarik dalam penyelenggaraan Indonesia Fashion Week 2025. Desainer fesyen, Eni Joe, menjadikan ajang tersebut sebagai ruang edukasi budaya.
Lebih dari sekadar pertunjukan mode, TGC dikenal sebagai acara hiburan terbesar yang memadukan fesyen, musik, budaya pop, dan selebritis dari berbagai bidang dalam satu panggung yang sama.
Pagelaran Suadesa Festival 2025 di Karangrejo, Magelang, Jawa Ttengah, membawa berkah bagi pelaku UMKM lokal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved