Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
PERUBAHAN iklim yang menyebabkan pengaruh pada cuaca ekstrem mengharuskan semua pihak melakukan mitigasi guna mencegah dampak yang ditimbulkan. Dalam hal ini, Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Ikilm, Pusat Riset Iklim, dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengusulkan agar Indonesia membentuk Komite Cuaca Ekstrem.
Menurutnya, kolaborasi yang erat dari hulu ke hilir antara BRIN-BMKG-BNPB-BPBD-pemda-relawan dan media dalam forum bersama atau komite sudah saatnya dibangun sebagai bagian dari langkah strategi nasional melakukan mitigasi dan antisipasi dampak cuaca ekstrem yang semakin meluas akibat perubahan iklim. "Di luar negeri, kita dapat mencontoh negara-negara federal di Amerika Serikat yang memiliki Komite Khusus Cuaca Esktrem beranggotakan ilmuwan, prakirawan, politisi yang merupakan wakil pemerintah pusat dan pemerintah daerah setempat serta menggandeng media, LSM, dan relawan," jelasnya dalam konferensi pers yang diadakan di kantor BRIN, Jakarta Pusat, Rabu (31/1).
Erma menyebutkan bahwa komite ini bisa dibuat dalam program strategis nasional yang dinamakan Bangsa Siaga Cuaca atau Weather-Ready Nation (WRN) yang sebenarnya juga diinisiasi badan cuaca dunia yaitu World Meteorological Organization (WMO). Tujuan utama WRN tak sekadar memperkuat hilirisasi informasi peringatan dini cuaca ekstrem semata, tetapi juga melakukan edukasi secara intensif dan meluas kepada publik.
Baca juga : 95 Bangunan Rusak Akibat Gempa di Kupang
Melalui komite tersebut juga dapat dirumuskan program-program penting untuk edukasi publik, membangun simpul-simpul relawan yang efektif dan berdaya jangkau luas dengan engagement yang signifikan, serta secara aktif bekerja terus menerus dalam membangun kesadaran publik. "Penting untuk dipahami, berbeda dengan jenis bencana alam lain seperti gempa dan tsunami, cuaca ekstrem ialah jenis bencana alam yang paling dinamis dan paling sering terjadi sehingga butuh terus-menerus untuk keep up to date. Bahkan informasi prediksi cuaca ekstrem harus terus-menerus diperbarui idealnya dua kali dalam sehari, mengikuti dinamika cuaca yang berubah-ubah setiap waktu," ungkapnya.
Berdasarkan pengamatan Erma, kekeringan dan hujan ekstrem mengalami peningkatan signifikan dan berdampak pada wilayah Sumatra bagian tengah dan selatan. Selain itu, kekeringan ekstrem di masa mendatang bisa berdampak pada wilayah Kalimantan bagian tengah, timur, dan selatan, termasuk IKN. Sedangkan Kalimatan bagian barat diproyeksikan mengalami hari-hari lebih basah.
"Untuk Pulau Jawa, sebagian besar wilayah terancam mengalami suhu maksimum yang lebih tinggi dan suhu minimum yang lebih rendah, khususnya untuk pantura Jawa Timur," sebut Erma.
Baca juga : BNPB: Warga Kota Bima Rasakan Guncangan Gempa Magnitudo 5,7
Selain kajian proyeksi perubahan iklim tersebut, lanjut Erma, kajian klimatologis terkini mengenai karakteristik hujan tahunan dan musiman di Indonesia juga diperlukan. Hal ini sebagai bentuk validasi agar indikasi perubahan iklim yang terjadi secara aktual saat ini di Indonesia dapat dipetakan dengan lebih baik, khususnya dalam hal perubahan pada pola musim dan cuaca ekstrem.
Erma mengatakan bahwa kajian mengenai indikasi perubahan hujan diurnal menjadi kunci penting untuk memahami pola cuaca ekstrem yang terjadi di BMI selama dekade terkini sebagai dampak dari pemanasan global. Pada dasarnya, pola hujan diurnal di BMI mengikuti pola umum hujan di darat yang dipengaruhi oleh angin darat-laut dan gelombang gravitasi sehingga fase kejadian hujan ialah sore hari di atas darat dan pagi hari di atas laut.
Namun demikian, lanjut Erma, terdapat variasi fase hujan diurnal sehingga hujan maksimum di darat terjadi pada dini hari dengan frekuensi yang signifikan (-20%) untuk wilayah di utara Jawa bagian barat termasuk DKI Jakarta. Hujan dini hari yang turun dengan intensitas tinggi atau ekstrem (P99th) tersebut bahkan telah dibuktikan merupakan penyebab banjir besar di Jakarta pada 2007, 2013, 2014, 2020.
Baca juga : Cuaca Ekstrem Rusak 57 Rumah Warga Musi Rawas Utara
Menurutnya, tantangan terbesar keilmuan meteorologi dan klimatologi ialah menghasilkan model prediksi hujan yang akurat untuk wilayah Benua Maritim Indonesia (BMI). Oleh karena itu, semua bentuk studi dari hulu ke hilir yang berkaitan dengan meteorologi dan klimatologi sama-sama memiliki tujuan akhir agar dapat menghasilkan prediksi cuaca ekstrem yang lebih baik.
"Menyongsong Indonesia emas 2045 dan dalam rangka mencapai target menjaga suhu bumi tidak melampaui 1,5 derajat celsius pada 2050. Di bagian hulu, Indonesia harus segera menguasai teknologi prediksi cuaca dan iklim. Informasi-informasi prediksi cuaca di Indonesia sudah saatnya dihasilkan dari kemampuan periset-periset andal bangsa ini dalam menghasilkan data-data prediksi resolusi tinggi dan akurat untuk memperkuat sistem peringatan dini bencana terkait cuaca ekstrem di Indonesia," pungkas Erma. (Z-2)
Baca juga : Peduli Cuaca
Suputa mengatakan kolaborasi itu akan fokus pada peningkatan daya saing komoditas hortikultura lokal, terutama salak pondoh sebagai ikon Yogyakarta
Para peneliti dievakuasi usai kapal yang ditumpangi untuk meneliti Terumbu Karang mengalami mati mesin.
AHLI Geologi Bumi - Paleoseismolog BRIN mengatakan gempa bumi Poso yang terjadi pada 17 Agustus 2025 yang berada dekat di Sesar Tokararu menyisakan banyak pertanyaan.
Radar ini dapat meningkatkan akurasi pelacakan melalui interferometri domain dan frekuensi, serta dapat difungsikan sebagai Multistatic Lateration Radar (MLR).
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang distorsi ekonomi dinilai merupakan realita yang ada.
Kemdiktisaintek menegaskan komitmennya untuk memperkuat perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual (KI) dari hasil riset dan inovasi perguruan tinggi di seluruh Indonesia.
Penelitian terbaru mencatat lebih dari 5.000 mamalia laut terdampar di pesisir Skotlandia sejak 1992.
Studi terbaru di jurnal One Earth mengungkap 60% wilayah daratan Bumi kini berisiko, dengan 38% menghadapi risiko tinggi.
Banjir monsun telah menyapu bersih seluruh desa, memicu tanah longsor, dan menyebabkan banyak orang hilang.
Studi terbaru mengungkap populasi burung tropis turun hingga 38% sejak 1950 akibat panas ekstrem dan pemanasan global.
Dengan cara mengurangi emisi gas rumah kaca, beradaptasi perubahan iklim, dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Perubahan iklim ditandai dengan naiknya suhu rata-rata, pola hujan tidak menentu, serta kelembaban tinggi memicu ledakan populasi hama seperti Helopeltis spp (serangga penghisap/kepik)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved