Headline
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.
SEBUAH penelitian terbaru yang diterbitkan di jurnal One Earth mengungkapkan hasil yang mengkhawatirkan terkait kondisi biosfer Bumi. Penelitian dari Potsdam Institute for Climate Impact Research bersama BOKU University di Wina menunjukkan bahwa 60% wilayah daratan dunia kini masuk kategori berisiko. Dari jumlah tersebut, 38% teridentifikasi menghadapi risiko tinggi.
Para peneliti berargumen bahwa aktivitas manusia telah mengganggu "integritas biosfer yang berfungsi," artinya kemampuan vegetasi untuk mempertahankan proses penting seperti siklus karbon, air, dan nitrogen.
Menurut Fabian Stenzel, salah satu penulis utama, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi beban yang diberikan oleh peradaban terhadap biosfer. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa mayoritas wilayah daratan Bumi telah melampaui batas kritis yang diperlukan untuk menjaga kestabilan planet.
Penyalahgunaan yang diakibatkan oleh sektor pertanian dan industri tidak hanya berisiko bagi ekosistem, tetapi juga mengganggu proses alami yang mengatur kehidupan.
Wolfgang Lucht, koordinator penelitian, menekankan bahwa gangguan ini berkaitan dengan aliran energi penting dari fotosintesis. Aktivitas manusia telah mengalihkan energi ini, yang pada gilirannya memicu gangguan pada siklus alami biosfer dan mendorong ekosistem menuju kehancuran.
Penelitian ini tidak hanya menyoroti isu saat ini, tetapi juga memberikan perspektif historis sejak abad ke-17. Para peneliti menemukan bahwa sejak dimulainya industrialisasi, tekanan terhadap biosfer Bumi telah meningkat dengan signifikan.
Pada tahun 1900, sekitar 37% lahan sudah berada di luar zona aman, dengan 14% di antara lahan tersebut berisiko tinggi. Ini menunjukkan bahwa tantangan ekologis yang dihadapi saat ini bukan hanya disebabkan oleh perubahan iklim modern, tetapi juga merupakan hasil akumulasi dari konversi lahan dan eksploitasi sumber daya selama berabad-abad.
Kerusakan biosfer berdampak serius yang melebihi masalah lingkungan semata. Kestabilan ekologis yang terganggu dapat langsung memengaruhi ketahanan pangan dan ketersediaan sumber daya air. Ketika biosfer tidak lagi berfungsi secara optimal, kita akan menyaksikan meningkatnya frekuensi dan intensitas kekeringan, banjir, serta gagal panen.
Keruntuhan biosfer bukan sekadar teori, tetapi merupakan ancaman nyata bagi dasar peradaban manusia. Negara-negara yang bergantung pada sumber daya alam untuk ekonomi mereka, terutama negara-negara berkembang, akan menjadi yang paling rentan terhadap dampak tersebut.
Selain itu, hilangnya keanekaragaman hayati dan degradasi ekosistem juga mengurangi daya tahan alam untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Hutan, lahan basah, dan terumbu karang yang tetap terjaga berperan sebagai pelindung alami dari cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas, badai, dan naiknya permukaan laut.
Tanpa adanya sistem pendukung ini, usaha untuk mengurangi dampak perubahan iklim akan menjadi jauh lebih sulit dan mahal. Karena itu, menjaga integritas biosfer merupakan strategi yang paling efektif untuk beradaptasi dan mengurangi dampak, yang perlu dimasukkan dalam setiap rencana iklim global.
Johan Rockström, Direktur Institut Potsdam, menilai hasil temuan ini sebagai sebuah terobosan ilmiah yang signifikan. Ia menekankan perlunya pemerintah di seluruh dunia untuk mengadopsi pendekatan yang menyeluruh: perlindungan biosfer yang menyeluruh harus dikombinasikan dengan tindakan iklim yang kuat.
Penelitian ini menekankan pentingnya penyerap karbon alami dan keanekaragaman hayati dalam mengatur iklim. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan internasional yang lebih ketat untuk menangani perubahan iklim sambil menjaga kesehatan biosfer secara keseluruhan. (DailyGalaxy/Z-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved