Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
MAHKAMAH Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran MA No 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan. Namun, langkah ini dinilai tak cukup untuk mengakhiri sengkarut perkawinan lintas agama di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie menyambut positif terbitnya SEMA No 2 Tahun 2023 yang menegaskan spirit Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya. “SEMA No 2 Tahun 2023 ini cukup positif dalam rangka supremasi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya di lingkungan lembaga peradilan,” ungkapnya, Rabu (19/7).
Hanya saja, Wakil Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menyebutkan SEMA No 2 Tahun 2023 itu bukan berarti mengakhiri praktik pernikahan beda agama. Menurut dia, ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.
“Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antar-norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, SEMA saja tidak cukup,” tegas Tholabi.
Lebih lanjut Tholabi menyebutkan pertentangan antarnorma di UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar-UU. Langkah ini diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama.
Dia menyebutkan dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu. “Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” tandasnya.
Harus Ditaati
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid mengapresiasi SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang ditandatangani oleh Ketua MA, yang isinya memberi pedoman kepada pengadilan di lingkungan MA, terutama pengadilan negeri, untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. HNW juga mengingatkan agar SEMA ini harus ditaati dan dilaksanakan secara konsisten oleh para Hakim di seluruh Pengadilan di wilayah hukum Indonesia.
“Alhamdulillah MA telah mendengarkan apa yang kami, MUI, dan banyak elemen bangsa kritikkan, terkait fenomena pengadilan negeri yang secara kontroversial mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama dalam setahun terakhir. SEMA ini bukan hanya perlu diapresiasi, tetapi juga harus ditaati dan dilaksanakan bersama-sama, oleh seluruh hakim dan lembaga peradilan. Apalagi esensi dari SEMA ini juga sesuai dengan konstitusi dan putusan MK yang menolak pengesahan perkawinan beda agama,” ungkapnya, Rabu (19/7).
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa sikap Ketua MA Muhammad Syarifuddin yang menerbitkan SEMA ini dengan menjadikan UU Perkawinan sebagai rujukan utama sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan hukum yang berlaku. “SEMA itu sejalan dengan pelaksanaan prinsip Indonesia sebagai negara hukum yang dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, dan juga berbagai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menguatkan UU Perkawinan dan karenanya menolak pengesahan pernikahan beda Agama,” tukasnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa dengan terbitnya SEMA tersebut, agar ke depan tidak ada lagi hakim di Pengadilan Negeri yang “mengakali” celah hukum dengan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
“SEMA ini harus menjadi pedoman bersama di lingkungan Peradilan, bahwa MA sudah menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan, dan Pasal 28B ayat (1) UUD NRI 1945, dan karenanya melarang pencatatan pernikahan beda Agama karena tak sesuai dengan UU Pernikahan itu,”ujarnya.
HNW yang sejak awal mengkritik sejumlah pengadilan yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama dalam setahun terakhir ini, berharap agar dengan sudah terbitnya SEMA tersebut, maka demi tegaknya hukum dan terlaksananya toleransi beragama secara benar, polemik dan fenomena pencatatan/pengesahan pernikahan beda agama yang bertentangan dengan UU Perkawinan, UUD 1945 dan Putusan MK tersebut bisa diakhiri dan dikoreksi. Ia mencatat fenomena dalam setahun terakhir ini dimulai pada Juni 2022, dimana Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama.
Selanjutnya seperti bola salju, fenomena yang salah itu juga dilakukan oleh para hakim di sejumlah pengadilan, seperti di Pengadilan Negeri Pontianak, Pengadilan Negeri Yogyakarta, Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan terakhir pada Juni 2023 dilakukan kembali oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Keberadaan SEMA ini menurut HNW penting dijadikan dasar hukum untuk menegakkan prinsip Indonesia sebagai negara hukum, dan mengoreksi perilaku dan pemahaman hukum yang menyimpang di kalangan sebagian hakim hingga terjadilah pencatatan pernikahan beda Agama sekalipun tidak sesuai dengan UU Pernikahan dan UUD 1945. Agar ke depan masalah itu tidak terulang lagi, agar masyarakat lintas agama tidak resah, agar toleransi beragama makin bisa dilaksanakan dengan baik dan benar,” pungkasnya. (H-1)
Mobil diserahkan Dadan dan istri ke Rumah penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan KPK di Jakarta Timur
KELUARGA korban kecewa atas putusan Mahkamah Agung (MA), meski telah membatalkan vonis bebas terhadap dua polisi terdakwa kasus Tragedi Kanjuruhan.
KEPOLISIAN Daerah Jawa Timur menyerahkan seluruhnya pada proses hukum, setelah Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi Jaksa Penuntut Umum.
KELUARGA korban Tragedi Kanjuruhan akan terus menuntut restitusi dan menagih sikap tegas Polri menindak anggotanya yang bersalah usai putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
SETIAP ada penangkapan atas hakim, perih terasa selalu berganda.
MENTERI Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD tampaknya tidak lagi berpikir untuk melakukan pembenahan sektor hukum di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Penurunan kepercayaan publik itu merupakan dampak dari putusan kontroversial terkait usia Capres - Cawapres untuk Pemilihan Presiden
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah naiknya tarif pajak hiburan hingga 75%.
Materi judicial review itu berhubungan dengan desain keserentakan Pilkada Serentak 2024 yang dianggap bermasalah dan melanggar konstitusi.
Permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan presiden (pilpres) telah dilayangkan pada 24 Mei lalu, yang memang menjadi tenggat akhir pengajuan permohonan.
Kekuasaan kehakiman yang merdeka berarti merdeka dari intervensi politik dan merdeka untuk menegakkan keadilan (freedom from political interference and freedom to do justice).
NEGARA yang dapat dikatakan memiliki pemerintahan konstitusional ialah negara yang pemerintahannya memperhatikan batasan yang ditentukan konstitusi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved