Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
SEBUAH studi yang dilakukan oleh Peneliti Monash University Danusha Jayawardana, menunjukkan pernikahan usia dini berdampak negatif terhadap kondisi fisik, psikologis dan emosional perempuan. Kondisi itu juga memicu fenomena ‘missing woman’ atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia.
Dalam penelitian tersebut terungkap bahwa praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.
Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun. Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi.
Baca juga : Ini Dampak Kenapa Pernikahan Dini Tidak Dianjurkan
Studi itu juga menyoroti terkait kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.
Baca juga : UNICEF: Fenomena Pernikahan Dini Baru Bisa Hilang 300 Tahun Lagi
Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial. Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan.
“Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing woman' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia. Pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri,” kata Danusha, Rabu (21/6).
“Dukungan psikologis yang memadai, layanan konseling, dan edukasi menjadi sarana penting untuk memastikan kesejahteraan mental perempuan dan anak-anak mereka dalam praktik pernikahan usia dini,” tambahnya.
Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun. Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan. Apalagi ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan.
“Kami harap, melalui temuan studi ini, pembuat kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," pungkasnya. (Z-8)
Pernikahan diniĀ bisa menimbulkan risiko kesehatan reproduksi pada perempuan, konflik pernikahan yang berujung pada perceraian, serta masalah psikologis yang dapat mempengaruhi pola asuh.
Kegiatan ini diselenggarakan guna meningkatkan kesadaran untuk berkomitmen melindungi hak-hak anak demi mempersiapkan perencanaan berkeluarga yang matang dan berkualitas
Dispensasi perkawinan anak dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan.
"Jejak digital tidak akan pernah hilang sampai kapan pun. Mau dihapus, mau ditenggelamkan juga bisa kita dapat," kata Yusri, kepada wartawan, Jumat (12/2).
Polda Metro Jaya segera memanggil pihak Aisha Weddings yang menawarkan pernikahan usia 12-21 tahun termasuk layanan paket nikah siri dan poligami.
Dalam 25 tahun terakhir, tren pernikahan dini sudah mengalami penurunan.
Teman dekat menjadi salah satu langkah untuk mengajak kembali anak yang putus sekolah.
Pemda harus gencar mensosialisasikan usia pernikahan matang, edukasiĀ gizi sehat kepada calon pengantin, dan mengampanyekan bayi lahir sehat.
Penyebab tingginya pernihakan anak antara lain pendidikan yang rendah, status ekonomi yang rendah dan kurangnya informasi terkait dengan risiko pernikahan anak.
Di tahun yang sama terdapat 447.743 kasus perceraian, angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sekitar 291.677 kasus.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved