BADAN Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan bahwa 1 dari 6 orang dewasa di dunia atau sekitar 17,5% mengidap infertilitas; kondisi gangguan kesuburan yang terjadi pada laki-laki atau perempuan yang menyebabkan ketidakmampuan dalam mencapai proses kehamilan setelah melakukan hubungan seksual tanpa proteksi.
Kondisi itu terjadi di setiap negara, baik pada negara yang memiliki pendapatan tinggi, menengah maupun rendah.
Hal itu, tulis WHO, menunjukkan bahwa tantangan atas infertilitas terjadi secara global. Dimana, prevalensi pada negara pendapatan tinggi mencapai 17.8%, dan untuk negara dengan pendapatan menengah dan ke bawah mencapai 16.5%.
Baca juga: 35 Persen Penyebab Gangguan Kesuburan adalah Laki-Laki
“Laporan mengenai infertilitas ini, menyadarkan bahwa kondisi ini tidak mendiskriminasi. Para pengidap infertilitas yang tersebar di semua wilayah, menunjukan kebutuhan dari akses penanganan infertilitas yang harus semakin lebih diisukan, dan tidak lagi dipandang sebelah mata dalam riset dan kebijakan kesehatan. Agar, fasilitas yang aman, efektif, dan mudah dijangkau hadir bagi para pasangan dan orangtua yang mencarinya,” tulis Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Rabu (5/4).
Negara seharusnya hadir
Kendati tingginya tingkat kuantitas pengidap infertilitas, hal-hal yang berhubungan dengan solusi berupa pencegahan, diagnosis dan penanganan dari infertilitas masih sangat kecil.
Baca juga: Orangtua Diingatkan Agar Lebih Peduli pada Kesehatan Kulit Bayi
Seperti in vitro fertilization (IVF); suatu teknologi yang dapat membantu aktivitas reproduksi. Biaya yang terlalu tinggi, stigma sosial yang masih eksis, dan keterbatasan atas ketersediaan IVF masih menjadi alasan minimnya penanganan akan infertilitas di semua negara, ungkap WHO.
Minimnya kontribusi dari pemerintah, juga membuat penanganan infertilitas di banyak negara harus melibatkan biaya besar sepenuhnya dari individu.
Bahkan, WHO menyebutkan bahwa pengidap infertilitas yang berasal dari negara pendapatan menengah ke bawah, harus membayar biaya yang lebih tinggi dibanding pengidap yang berasal dari negara dengan pendapatan tinggi.
Tingginya biaya penanganan infertilitas, bahkan bisa membuat individu yang memiliki pendapatan menengah ke bawah berada di posisi terancam menuju kemiskinan, apabila tidak ada kontribusi dari negara.
“Jutaan orang menghadapi kekacauan dari biaya kesehatan untuk menangani infertilitas ini, yang membuat kebanyakan dari mereka terjebak dalam ketidakmampuan menjangkau penanganan medis,” ungkap Direktur Kesehatan Seksual dan Reproduksi WHO Pascale Allotey.
“Kebijakan yang lebih baik dengan bantuan keuangan pada bidang medis, secara signifikan dapat membantu meningkatkan akses pada penanganan dan perlindungan bagi para individu pengidap fertilitas, agar tidak terancam pada posisi kemiskinan akibat tingginya biaya penanganan,” tegas Allotey. (Z-1)