Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Keterampilan Menulis Bukan Bakat Lahir, Tapi Bisa Dipelajari 

Mediaindonesia.com
31/12/2021 10:53
Keterampilan Menulis Bukan Bakat Lahir, Tapi Bisa Dipelajari 
Acara  Bincang Santai Teras LPPM ATVI (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat-Akademi Televisi Indonesia).(Ist)

SETIAP orang bisa menulis, apalagi seorang dosen. Dosen dapat menuliskan setiap materi pelajaran yang disampaikan  di ruang kelas. Menulis hanya memindahkan dari bentu ucapan ke dalam bentuk tulisan.

Keterampilan menulis  bukan bawaan atau bakat dari lahir, tetapi keterampilan yang bisa dipelajari oleh siapa saja. Terpenting ada niat dan aksi memulai sampai selesai. 

Hal tersebut disampaikan praktisi, dosen, dan penulis buku, Rusman Latief dalam acara  Bincang Santai Teras LPPM ATVI (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat-Akademi Televisi Indonesia) yang disiarkan langsung melalui channel Youtube, Kamis, (30/12). Acara tersebutr dipandu, Sisca T. Guring, dosen ATVI dan juga berprofesi sebagai blogger.

Rusman latief, adalah dosen tetap ATVI, juga menjadi dosen tidak tetap di beberapa kampus, di antaranya Universitas Indonesia, Polimedia Jakarta, Universitas Pancasila, Universitas Mercu Buana, dan Universitas Tama Jagakarsa.

Sebelum berprofesi dosen, merupakan praktisi bidang produksi acara televisi, di Indosiar, dan beberapa stasiun televisi swasta nasional lainnya. Saat ini, sudah menulis 12 buku, didominasi bidang ilmu penyiaran, khususnya produksi acara televisi. 

Acara Bincang Santai Teras LPP ATVI ini seungguhnya mengandung konten yang bermanfaat bagi banyak kalangan, apalagi mahasiswa dan dosen. Acara dwi mingguan ini merupakan kolaborasi dengan Masterpedia, Taman Bacaan Bukit Duri Bercerita, dan didukung oleh Dana, penerbit Prenada Jakarta dan Penerbit Diomedia, Solo.

Dalam acara itu, Rusman latief menjelaskan, bahwa dosen yang enggan menulis buku, selalu dengan alasan klasik, tidak memiliki keterampilan menulis. Padahal seorang dosen sudah memiliki keterampilan menulis, yaitu dengan menulis skripsi, tesis atau desertasi.

“Itu semua merupakan keterampilan menulis. Hanya, keengaan ini, muncul karena tidak dosen kurang memiliki motivasi. Hanya mau jadi dosen yang biasa-biasa saja," kata Rusman.

"Cukup mengajar di kelas melakukan pengabdian masyarakat dan menulis jurnal. Kurang motivasi menulis buku. Padalah nilai Jenjang Jabatan Akademik (JJA) menulis buku teks atau ajar,  nilainya tinggi, sama dengannilai menulis di jurnal internasional," paparnya. 

Menulis buku, lanjut Rusman, memang bukan suatu  pekerjaan instan, tetapi melalui tahapan-tahapan perencanaan. Pertama, harus memiliki niat, yaitu  keinginan menulis buku yang manfaat.

Jika niat sudah dimiliki, kedua  adalah kepercayaan diri. Mampu menulis buku, mampu menyusun kata, kalimat, paragrap dan menjadi buku. Ketiga, iklas atau tulus. 

“Menulis buku tidak mengharapkan sesuatu, misalnya materi atau penghargaan. Pokoknya iklas saja. Keempat, jika buku yang ditulis buku ilmiah, harus menjunjung tinggi nilai kejujuran," jelasnya.

Kejujuran melakukan sitasi pada setiap pendapat seseorang. Jujur mengakui apa yang disampaikan adalah pandangan atau pendapat seseorang.  

"Tahapan kelima atau tahapan terakhir, siap. Maksudnya siap menyelesaikan buku tersebut. Tidak menyerah dengan berbagai halangan dan hambatan. Pokoknya siap menyelesaiakan hingga terbit,” papar Rusman Latief .

Bagi dosen yang ingin menulis khusus buku ajar, Rusman menyarankan, tulislah buku sesuai bidang yang diajarkan atau bidang keahlian. Dengan cara demikian akan lebih mudah menulisnya dibanding jika menulis buku yang tema kurang dimengerti dan dipahami.  

“Tulislah buku sesuai bidang keahlian, dan konsisten pada bidang ilmu yang sama. Misalnya, buku tentang broadcasting. Konsistenlah pada bidang itu," katanya.

"Jika menulis buku tentang produksi acara televisi nondrama, buku berikut jangan menulis tentang marketing. Ini akan menyulitkan penerbit untuk mengetahui bidang keahlian kita. Akan muncul keraguan untuk menerbitkannya. Selain itu, pembaca juga akan kebingungan tentang bidang keahlian kita,” ujarnya.

Hal yang perlu diperhatian, sebelum menulis, perlu melakukan observasi, penelitian, pengamatan jenis buku-buku yang sudah diterbitkan. Tujuannya, agar tidak menulis buku yang sama dengan buku yang sudah terbit.  

Hindari menulis buku yang sama dengan buku yang sudah terbit.Jika pun harus sama bahasannya, bedakan isi dan teknik  penyampaiannya.

Sebaiknya, tulislah buku yang berbeda,  terutama pada isinya. Jangan menulis buku, merupakan kumpulan kutipan dari buku-buku atau hanya kumpulan pandangan ahli, jangan buat seperti kliping.

“Beranilah menulis pendapat atau pandangan sendiri, tentunya berdasarkan padangan dari para ahli. Dengan demikian akan ada hal baru dalam buku yang ditulis anda tulis. Ini menjadi nilai lebih dari buku-buku sebelumnya,” katanya.

Jangan takut menulis

Lebih lanjut Rusman mengatakan, menulis buku ajar atau referensi, tidak cukup dengan modal sumber dari buku.

Karena, dalam satu buku, pasti ada kekurangnnya. Isinya juga kadang sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. Sementara kita menulis buku ingin menyampaikan sesuatu yang baru  yang mungkin  belum ditemukan  dalam buku yang sudah terbit. 

"Oleh karena itu, kita perlu melakukan observasi dan penelitian langsung kelapangan. Misalnya melakukan wawancara (bertanya) kepada para ahli atau praktisi, Tujuannya, untuk mendapatkan hal-hal  baru dari bidang yang akan kita tulis," tutur Ruman.

"Selain itu, selalu update perkembangan bidang ilmu yang kita tulis. Melalui media, khususnya media online. Dengan demikian, buku yang kita  tulis akan berbeda dengan buku-buku yang sudah terbit," paparnya. 9RO/OL-09)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Deri Dahuri
Berita Lainnya