DENGAN kian maraknya kekerasan seksual, banyak pihak menilai Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU Pungkas) atau sebelumnya dikenal sebagai RUU PKS ini darurat untuk segera disahkah.
Komisioner Purnabakti Komnas Perempuan Sri Nuherwati mengatakan hal tersebut berawal dari kondisi korban yang memiliki keterbatasan pemulihan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
"Korban sulit kembali ke kondsi psikis, fisik, seksual, ekonomi, sosial seperti sebelum terjadinya kekerasan seksual. Korban pun mendapat stigma dan dikucilkan dari masyarakat," kata Sri dalam workshop tentang membangun strategi kampanye media dalam pemberitaan RUU PKS yang digelar daring, kemarin.
Dalam draf RUU Pungkas, Komnas Perempuan telah membagi kekerasan seksual menjadi sembilan jenis tindak pidana, yakni pelecehan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Terpisah, Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menyampaikan perlunya perhatian pada kekerasan gender berbasis siber yang didominasi dengan kekerasan seksual. "Dari laporan yang kami terima, modus kekerasan ini berbentuk penyebaran foto atau video korban yang tidak pantas dengan motif balas dendam. Kasus yang dilaporkan per Oktober ini ada 659 kasus, sementara tahun lalu laporannya hanya 281 kasus," kata Alimatul dalam diskusi daring, kemarin.
Menurutnya, tingkat angka kekerasan yang terjadi di masa pandemi ini dapat digunakan sebagai momentum penting untuk mendorong agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan untuk mengakomodasi masalah keberadaan payung hukum. (Wan/Fer/H-3)