Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Rapid Test Diprioritaskan untuk Tenaga Medis

Atikah Ishmah Winahyu
26/3/2020 06:45
Rapid Test Diprioritaskan untuk Tenaga Medis
Tenaga medis menjalani tes cepat pemeriksaan covid-19 di Stadion Patriot Chandrabaga, Bekasi, Jawa Barat, kemarin.(MI/PIUS ERLANGGA)

KARENA terbatasnya ketersediaan rapid test (tes cepat) di Tanah Air, pemerintah akan memprioritaskan tenaga kesehatan di ring satu yang rentan terpapar covid-19 (virus korona) untuk menjalani tes.

Masyarakat juga tidak bisa begitu saja meminta melakukan tes jika tidak memenuhi kriteria. Pasalnya, tes cepat bukan untuk diagnosis, tetapi mengukur antibodi yang ada di dalam tubuh seseorang. Jumlah antibodi tersebut akan berfluktuasi jika ada virus masuk dalam tubuh seseorang

Hal itu disampaikan Direktur Manajemen Penanganan Bencana dan Kebakaran Safrizal ZA, juru bicara pemerintah untuk penanganan covid-19 Achmad Yurianto, dan Direktur Medik, Keperawatan dan Penunjang Rumah Sakit Umum Pemerintah Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat, Nucki Nursjamsi Hidajat, secara terpisah kemarin.

Tenaga medis yang lebih dulu menjalani tes cepat adalah mereka yang masuk daftar orang-orang yang selama ini berkontak dekat dengan pasien positif covid-19, yakni para dokter penyakit dalam, anastesi, THT, dokter anak, para perawat di ruang isolasi dan ruang intensive care unit (ICU).

“Selain petugas medis yang melakukan kontak dekat dengan pasien, masyarakat dengan gejala virus tersebut juga menjadi prioritas. Pemeriksaan gejala akan dilakukan pihak rumah sakit maupun puskesmas setempat jika pasien yang datang terindikasi terpapar
virus korona,” jelas Safrizal di Gedung Graha BNPB, Jakarta.

Di tempat yang sama, Yurianto mengatakan, masyarakat yang mengikuti tes cepat bakal melalui banyak proses. Jika hasilnya positif mengartikan tubuh orang tersebut pernah diinfeksi covid-19. Namun, jika negatif belum bisa menjadi acuan orang tersebut tidak
terjangkit virus itu.

“Sebab, bisa saja sudah terinfeksi, tapi antibodinya belum terbentuk. Pembentukan antibodi itu enam sampai tujuh hari. Jika belum segitu akan negatif,” jelasnya.

Sementara itu, Nucki Nursjamsi Hidajat mengatakan, RSHS menerima 350 rapid test kit dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat. “Pemeriksaan mulai dilakukan terhadap 300 pegawai rumah sakit yang berisiko tinggi dalam penanganan covid-19. Mereka terdiri dari dokter, perawat, petugas administrasi, sopir, cleaning service, dan satpam di RSHS,” katanya di Bandung.

Ventilator

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dokter Agus Dwi Susanto mengatakan, perlu dilakukan pemetaan kebutuhan ventilator (alat bantu pernapasan), khususnya di rumah sakit rujukan penanganan pasien virus covid-19. Sebab, kebutuhan ventilator saat ini cukup tinggi.

“Saat ini sekitar 40% dari pasien yang dirujuk ke rumah sakit rujukan membutuhkan perawatan dengan ventilator, karena mereka merupakan pasien dengan kondisi pneumonia berat disertai kom plikasi sehingga pasien tersebut kesulitan bernapas sendiri,” tambahnya.

Menurut spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan itu, perlu dipikirkan ketersediaan ventilator di rumah sakit rujukan di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat yang tinggi jumlah pasiennya. Namun begitu, Agus mengakui, tidak semua pasien yang terinfeksi
virus korona harus dirawat dengan venti lator. Menurutnya, penanganan pasien korona dilakukan berdasarkan tingkatan atau level
keparahannya. (BY/Medcom.id/X-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya