Headline

Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.

APBN Tersandera MBG, Stabilitas Makro Ekonomi Terancam

Insi Nantika Jelita
18/8/2025 17:49
APBN Tersandera MBG, Stabilitas Makro Ekonomi Terancam
Ilustrasi(Antara)

Ekonom Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono berpandangan fokus belanja besar pada program makan bergizi gratis (MBG) berisiko menekan stabilitas fiskal dan makroekonomi. Sebab, tingkat penyerapan program ini masih rendah dan dampak produktivitas ekonominya belum jelas jika dibandingkan dengan alokasi belanja yang lebih produktif.

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, anggaran pendidikan ditetapkan Rp757,8 triliun, dengan Rp335 triliun atau 44,2% di antaranya khusus untuk MBG. Artinya, hampir setengah anggaran pendidikan terserap untuk MBG, sehingga ruang fiskal untuk infrastruktur pendidikan, kesejahteraan guru, peningkatan kualitas belajar, dan fasilitas sekolah menjadi terbatas.

“Kenapa kita perlu menganalisa rencana belanja 2026? Karena belanjanya masih bertumpu pada MBG. Dengan penyerapan rendah, apalagi jika penerimaan negara mengalami shortfall, potensi tekanan makroekonomi menjadi besar,” ujar Riandy.

Hal ini disampaikan dalam CSIS Media Briefing bertajuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, secara daring, Senin (18/8).

Riandy menerangkan pada periode pertama Presiden Prabowo, eksperimen fiskal diarahkan ke kanal baru, yakni MBG. Berbeda dengan era awal Joko Widodo, di mana belanja infrastruktur sudah mapan dan efek ekonominya dinilai cepat terasa.

Hal tersebut dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi karena penyaluran MBG masih menghadapi berbagai hambatan. Padahal, dalam kondisi ketidakpastian global, belanja negara berfungsi sebagai shock absorber atau peredam guncangan.

"Karena program MBG masih dibangun dari nol, belanja pemerintah justru berisiko menjadi faktor yang menahan pertumbuhan ekonomi, bukan menjadi shock absorber," kata Riandy.

Ia menegaskan potensi dorongan pertumbuhan hanya bisa tercapai jika penyaluran MBG lancar. Namun, faktanya saat ini realisasi anggaran baru mencapai 7,1% dari total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang mencapai Rp71 triliun pada semester I 2025.

Di satu sisi, anggaran pemerintah yang sudah dialihkan dari pos infrastruktur dan perjalanan dinas tidak tersalurkan, sehingga konsumsi pemerintah justru terkontraksi.

"Realisasi anggaran MBG masih jauh sekali. Sementara duit sudah ditarik dari infrastruktur dan dari perjalanan dinas. Jadi, wajar ekonomi kita masih terkontraksi dari sisi government spending," ucapnya.

Peneliti CSIS itu mendorong pemerintah perlu segera meninjau kembali strategi belanja negara yang saat ini terlalu bertumpu pada program populis Presiden Prabowo. Riandy berpendapat fokus belanja pada MBG yang masih bermasalah dari sisi penyaluran (disbursement) membuat pertumbuhan ekonomi tidak cukup terdiversifikasi.

“Jangan taruh semua telur dalam satu keranjang,” ujarnya.

Menurutnya, sambil membenahi hambatan realisasi MBG, sebagian anggaran sebaiknya dialihkan kembali ke pos-pos lain yang sebelumnya sudah dipangkas, seperti perjalanan dinas maupun infrastruktur. “Di saat ekonomi sedang sulit, yang terpenting uangnya cepat mengucur ke masyarakat, bukan justru ditahan di kantong pemerintah,” tegasnya.

Dengan diversifikasi belanja, ketika realisasi MBG tersendat, masih ada sumber pertumbuhan lain yang bisa menjadi penopang.

“Masalahnya sekarang, pemerintah seolah-olah all-in hanya untuk MBG,” tutupnya. (Ins)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya