Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Target Pajak Tahun Ini Disebut tidak Realistis

M Ilham Ramadhan Avisena
08/1/2025 19:28
Target Pajak Tahun Ini Disebut tidak Realistis
Ilustrasi: Suasana kota Jakarta yang penuh gedung bertingkat dan pemukiman penduduk(MI/Ramdani)

TARGET penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun di 2025 dinilai tak realistis lantaran terlampau tinggi jika dibandingkan dengan 2024. Apalagi target pajak pada 2024 yang sebesar Rp1.988,9 triliun tak dapat terpenuhi (shortfall). 

Ekonom dari Bright Institute Awalil Rizky mengungkapkan, kondisi shortfall itu menyebabkan target penerimaan pajak di tahun ini menjadi bertambah berat. "Dengan shortfall itu, target 2025 itu menjadi tinggi sekali. Karena di outlook 2024 itu diasumsikan tercapai, butuh kenaikan 11,56% untuk tahun 2025," kata dia dalam diskusi secara daring, Rabu (8/1).

"Kenaikan ini tidak realistis. Jadi tidak mungkin kalau as usual itu naiknya dapat dihitung, karenanya wajar kita melihat ada kebijakan yang akan berubah, entah itu menaikan tarif atau menambah subjek pajak," tambahnya. 

Awalil menduga, pemerintah akan kembali mengutak-atik ketentuan peraturan di bidang pajak untuk bisa mengerek penerimaan dan mencapai target yang ditetapkan. Dugaannya itu juga sedianya sejalan dengan berkembangnya sejumlah wacana kebijakan di bidang pajak. 

Pertama, wacana perubahan batas kena pajak penghasilan bagi pembayar pajak perorangan. Hal ini juga telah direkomendasikan oleh Bank Dunia dan OECD agar Indonesia bisa meningkatkan penerimaan pajak. 

Indonesia direkomendasikan untuk menurunkan besaran penghasilan tidak kena pajak dari yang berlaku saat ini Rp56 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Jika itu diaplikasikan, maka jumlah pembayar pajak akan bertambah dan setoran pajak penghasilan (PPh) akan meningkat. 

"Jadi kalau di atas Rp3 juta (penghasilan per bulan), sudah kena (bayar PPh). Itu bahkan OECD menyarankan lebih rendah lagi. Berarti dengan begitu pemerintah akan dapat lebih banyak lagi dari PPh 21 ini," kata Awalil. 

Wacana kedua ialah penurunan omzet kena pajak bagi pelaku usaha, dalam hal ini ialah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Aturan yang berlaku saat ini, pengusaha tidak kena pajak (PTKP) adalah mereka yang memiliki omzet hingga Rp4,8 miliar setahun. Ambang batas itu diwacanakan diturunkan agar jumlah pembayar dan setoran pajak bertambah. Namun mengenai hal tersebut pemerintah sempat membantah wacana penurunan ambang batas PTKP. 

Wacana ketiga ialah pengampunan pajak, alias tax amnesty jilid III yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Program itu sejatinya memang menambah penerimaan pajak dari pembayaran denda. Namun berkaca dari historis, jumlahnya kian menyusut. 

Pelaksanaan tax amnesty secara berulang juga disebut tak mencerminkan keadilan kebijakan pajak di Tanah Air. Berulangnya program itu, terlebih dalam waktu singkat, justru menunjukkan kegagalan pemerintah melakukan perbaikan dan reformasi pajak di dalam negeri. 

"Jadi tax amnesty dalam jarak tiga tahun itu sebetulnya merupakan pengakuan bahwa reformasi pajak gagal," kata Awalil. (Mir/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya