AUSTRALIA selalu menjadi mitra dagang penting Indonesia. Hubungan kedua negara diperkuat dengan pelaksanaan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA) yang diyakini membawa banyak peluang perdagangan bagi Indonesia dan Australia, sekaligus membawa kemakmuran bagi kedua negara.
"Australia menawarkan keunggulan dalam hal teknologi dan keahlian industri serta sebagai pasar barang industri. Dengan menjalin kemitraan dengan bisnis Australia, diharapkan Indonesia dapat mengakses teknologi dan sumber daya terkini yang akan meningkatkan daya saing di pasar internasional," kata Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian, secara virtual dalam pertemuan Round Table Discussion: Indonesia & Australia Trade and Investement Initiative yang diselenggarakan oleh BDO Indonesia pada awal bulan ini.
Indonesia memiliki banyak peluang dari kegiatan perdagangan internasional yang semakin terintegrasi. Melalui IA-CEPA, ia yakin dapat mendorong kinerja ekspor dan meningkatkan posisi Indonesia dalam global value chain (GVC) serta meningkatkan daya saing dan meningkatkan arus masuk FDI.
Baca juga: Februari, Perekrutan Karyawan Swasta Melonjak di Amerika Serikat
Apalagi, investasi Australia di Indonesia mencapai US$2,35 miliar. Pada periode kuartal I sampai dengan III 2022, investasi Australia di Indonesia mencapai US$344 juta atau meningkat dibandingkan 2021 sebesar US$195 juta. "Melalui kerja sama antara Indonesia dan Australia ini, kami berharap kedua negara saling menguntungkan dan bersama-sama mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan momentum ini bersama-sama, untuk melakukan transformasi ekonomi, menuju ekonomi regional dan global yang lebih baik,” terang Agus.
Hal senada juga diyakini CEO BDO Indonesia Athanasius Tanubrata. Ia melihat Australia sebagai negara yang sangat penting dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Namun, masih banyak aspek potensial yang dapat dimaksimalkan.
Baca juga: Impor KRL Bekas, Menperin: Masih Tunggu Audit BPKP
Untuk itu, BDO Indonesia dan Australia menghadirkan ruang untuk berdiskusi dan sharing antarpakar dan praktisi perdagangan dari kedua negara. "Event ini ialah wadah untuk mengidentifikasi kesenjangan hubungan antarpihak-pihak yang terlibat, meningkatkan kolaborasi, dan membuka peluang baru bagi bisnis di kedua negara. BDO siap membantu pengusaha dalam mewujudkan perdagangan internasional," ujar Athanasius.
Tantangan menembus pasar Australia
Dalam sesi diskusi panelis Presiden PT Sekar Laut Tbk Iwi Sumbada menjelaskan produk-produk makanan dari Indonesia memiliki pasar luas di dunia. Selain memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi selera konsumen negara yang dituju, produsen juga harus memiliki standar tinggi. "Produsen harus bisa memenuhi standar internasional yang sudah ditetapkan, contohnya British Retail Consortium Global Standards yang berlaku di negara-negara Commonwealth seperti Australia. Dengan mempelajari standar tersebut, produsen dalam negeri dapat mengetahui cara berpartisipasi di pasar global," papar Iwi.
Sebagai produsen bahan makanan, Iwi melihat peraturan dan standar yang ditetapkan di pasar internasional sebagai upaya untuk melindungi konsumen. Hal ini demi menghadirkan produk yang sehat dan aman untuk dikonsumsi. Oleh karena itu, terlepas dari skala industrinya, setiap produsen lokal yang ingin memasarkan produk ke luar harus bisa memenuhi hal tersebut.
Iwi juga turut mengapresiasi inisiatif pemerintah Indonesia yang telah menerapkan perjanjian perdagangan luar negeri seperti AI-CEPA yang semakin membantu produsen lokal untuk memasarkan produk mereka ke negara luar. Mekanisme ini berhasil mengeliminasi halangan dan menurunkan ongkos produksi ketika memasarkan produk ke Australia. "Dengan menghilangkan berbagai hambatan tarif, kami bisa menghadirkan produk dengan harga yang lebih kompetitif dan diterima di pasar Australia," jelasnya.
Selain dukungan dari pemerintah, peran serta perusahaan swasta dan jaringan pengusaha sangat diperlukan untuk meningkatkan ekspor produk dari dalam ke luar negeri. Hal ini disebutkan Ketua Bidang Internasional, Investasi, dan Infokom BPD Hipmi Jaya Shinta Melodi. Menurutnya, industri lokal masih belum memiliki akses teknologi terbaru untuk memenuhi standar industri luar.
Shinta mengambil contoh industri mebel lokal yang sulit untuk menembus pasar internasional karena keterbatasan teknologi produksi dan biaya logistik yang tinggi. Beberapa negara seperti Australia sudah menerapkan standar teknologi tertentu untuk mebel yang boleh dipasarkan di negaranya. "Hal ini tentu menjadi kendala bagi produsen usaha kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia. Di sini Hipmi hadir sebagai penghubung UMKM lokal dengan perusahaan yang bisa membantu memenuhi standar tersebut, baik di dalam maupun luar negeri," ujar Shinta.
Hal senada juga ditegaskan oleh George Iwan Marantika, Presiden Indonesia-Australia Business Council (IABC). Indonesia dan Australia, menurutnya, masih memiliki banyak potensi dalam pengembangan industri dan perdagangan antarnegara. "Di antara ke dua negara, semangat dan kerangka berpikir untuk perdagangannya sudah ada. Tinggal sektor swasta mengapitalisasi hal tersebut. Itu yang ingin kami wujudkan,” tutupnya. (RO/Z-2)