PERATURAN Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2022 dinilai melanggar putusan Mahkamah Konsitusi yang terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat. Selama periode 2 tahun, regulasi itu harus diperbaiki dan tidak ada aturan turunan baru.
"Kami atas nama buruh Indonesia menolak permen 2/22 tentang JHT dan juga kita minta dikembalikan ke permen 19/15 karena ini sudah ada payung hukumnya," kata Sekjen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Sabilar Rosyad dalam Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (23/2).
Menurutnya, para buruh menolak aturan baru itu karena semenjak putusan MK tentang UU 11/2020 maka pemerintah tidak boleh mengeluarkan aturan turunan. Sementara permenaker terbaru merupakan turunan dari omnibus law tersebut.
"Dari sisi nilai juga (JKP) itu tidak menjawab kebutuhan buruh, peruntukannya ternyata bagi pekerja buruh yang di-PHK. Padahal di lapangan perusahaan menghindari kebijakan PHK agar tidak ada pesangon," jelasnya.
Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio mengatakan, dari awal regulasi itu memang tidak lengkap. Perhitungan JKP sebagai pengganti JHT tidak sesuai dengan harapan banyak orang. Apalagi komunikasinya sangat kurang terkait aturan baru tersebut.
"Seharusnya ketika mengumumkan JHT, JKP itu disamakan sehingga masyarakat yang merasa dirugikan karena JHT tidak bisa diambil, ada caranya plus kalau ada pesangon," jelasnya.
Dia mengingatkan pemerintah agar menelaah terlebih dahulu sebelum mengeluarkan aturan. Terlebih soal aturan yang sensitif bagi banyak orang.
Sementara itu, Editor Media Indonesia Soelistijono menekankan, pada prinsipnya antara pemerintah dan pekerja mengharapkan adanya unsur jaminan, rasa aman. Lantas dikeluarkanlah aturan JHT dan JKP sebagai perlindungan bagi pekerja atau buruh Indonesia.
Kisruh yang terjadi saat ini, menurutnya karena kurangnya komunikasi.
"Saya melihat komunikasi yang dilakukan pemerintah sangat minim karena kalau kita lihat dari studi kasus ini sebenarnya banyak penolakan di UU Cipta Kerja yaitu masalah PHK yang lebih longgar, pesangon dan lainnya," kata dia.
Baca juga : Soal JHT, NasDem Minta Permenaker 2/2022 Dicabut
Dalam UU Cita Kerja masalah-masalah seperti outsourcing, pengupahan dan lainnya menjadi sorotan publik. Ditambah dengan komunikasi yang minim, regulasi baru ini pun menimbulkan banyak penolakan.
"Kondisi ini sebenarnya juga mempengaruhi psikologi buruh ketika menghadapi permen 2/2022," imbuhnya.
"Catatan kita sebagai jurnalis, revisi permenaker ini jangan sampai memberatkan buruh, juga jangan sampai bertentangan dengan UU SJSN," lanjutnya.
Wartawan Senior Saur Hutabarat menjelaskan, yang namannya jaminan hari tua itu dipandang sebagai tabungan. Dan kalau itu tabungan, orang merasa bahwa kapanpun bisa diambil.
"Nah prinsip kebatinan bahwa orang berpandangan bahwa jaminan hari tua itu adalah tabungan sebenarnya itulah yang diciderai oleh keputusan permen itu," ungkapnya.
Menurutnya, tidak banyak rakyat Indonesia yang punya cukup tabungan atau dana cadangan bila sewaktu-waktu di PHK. Lantas, JHT bisa menjadi opsi untuk melewati masa sulit tersebut.
"Berapa banyak sih rakyat Indonesia yang memiliki dana cadangan, katakanlah 6 bulan upah minimum atau 3 bulan upah minimum. Jangan-jangan satu bulan pun jutaan rakyat tidak punya," kata dia.
Saur menyebutkan, di Indonesia, tabungan dibawah Rp100 juta jumlahnya hanya 1,6 % dari 386 juta rekening. Yang paling besar adalah tabungan simpanan Rp100 juta ke atas, khususnya Rp5 miliar keatas yang dimiliki para elite.
"Jadi mereka yang begitu di PHK kehilangan pekerjaan seperti air sudah berada di hidung tinggal tenggelam aja hidupnya. Boro-boro saya membayangkan hari tua kalo umur saya 16, 14 tahun lagi. Urusan saya adalah hidup hari ini maka itu saya harus ambil JHT. Karena jaminan hari tua itu sudah menjadi hari ini bukan umur tua," terangnya.
"Permen itu dicabut saja, bukan semata melawan putusan MK atas UU Cipta Kerja tetapi juga menimbulkan kemarahan karena melawan suasana kebatinan," tutup Saur. (OL-7)