Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

OJK: Penurunan Masif Suku Bunga Kredit Bukan Keputusan Bijak

Despian Nurhidayat
11/3/2021 13:17
OJK: Penurunan Masif Suku Bunga Kredit Bukan Keputusan Bijak
Suku bunga kredit(Ilustrasi)

SUKU bunga kredit (SBK) perbankan sampai saat ini telah mengalami tren penurunan di semua jenis penggunaan kredit bahkan SBK Investasi dan SBK Modal Kerja dikatakan telah mencapai single digit.

Hal ini terlihat dari SBK Modal Kerja yang telah turun 88 bps menjadi 8,88%, SBK Investasi turun 102 bps menjadi 9,21%dan SBK Konsumsi turun 65 bps menjadi 10,97%. Sementara itu, SBK pada semua segmen kredit juga dikatakan telah berada pada single digit yaitu Ritel 8,85%, Korporasi 8,74%, KPR 8,61%, Non KPR 8,36%, dan Mikro 7,22%.

Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo mengatakan, saat ini perbankan dihadapkan oleh potensi kerugian yang cukup besar dari restrukturisasi kredit yang mencapai Rp971 triliun, penurunan pendapatan karena penurunan kredit dan kenaikan biaya DPK (Dana Pihak Ketiga), ditambah dengan kewajiban pembentukan pencadangan telah menggerus laba bank hingga mencapai lebih dari 30% dibanding tahun sebelumnya.

Menurutnya, penurunan suku bunga secara masif untuk mendorong kenaikan demand juga bukan merupakan keputusan yang bijak di tengah kondisi yang masih belum menentu.

"OJK sebagai regulator harus melihat masing-masing kondisi bank dengan supervisory approach. Sehingga tidak bisa digebyah uyah, karena harus menjaga keseimbangan dengan beban restrukturisasi yang memang harus dilakukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Ini merupakan bagian peran makroprudensial yang dilakukan oleh OJK," ungkapnya kepada Media Indonesia, Kamis (11/3).

Secara umum, menurut Anto, SBDK (Suku Bunga Dasar Kredit) telah mengalami penurunan secara bertahap per masing-masing segmen. Namun demikian, kecepatan penurunan per masng-masing bank akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik penyaluran kredit dari masing-masing bank atau dikenal dengan idiosyncratic atau firm-specific risk.

"Perbedaan strategi bisnis setiap bank inilah yang perlu dilihat dan dibandingkan, melihat SBDK rate secara keseluruhan," kata Anto.

Baca juga : Petani Bawang Putih Lokal Minta Pasar Bantu Serap Hasil Panen

Perlu diketahui, baru-baru ini, Bank Indonesia merilis asesmen Transmisi Suku Bunga Kebijakan kepada Suku Bunga Dasar Kredit Perbankan yang menyoroti rigiditas respon SBDK terhadap penurunan suku bunga kebijakan (BI7DRR) yang telah diturunkan 9 (sembilan) kali atau 2,25% sejak Juni 2019.

Jika dicermati, sejak BI7DRR diluncurkan sebagai suku bunga acuan pada Agustus 2016, BI telah menurunkan suku bunga acuan 1,50%, sedangkan suku bunga riil kredit dari data OJK telah menunjukkan penurunan yang lebih tinggi dengan rentang 2,53 - 2,77%.

Hal ini menunjukkan bahwa komitmen perbankan untuk terus menurunkan suku bunga menjadi single digit menjadi terealisasi. Terlebih saat suku bunga acuan naik menjadi 6% di November 2018 yang diikuti kenaikan suku bunga simpanan, perbankan tidak ikut menaikan suku bunga kreditnya.

"SBDK yang merupakan indikator besaran suku bunga kredit yang akan dikenakan kepada nasabah saat mengajukan kredit kepada bank sejatinya telah diatur oleh OJK melalui POJK tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank. Perbankan juga diminta untuk melakukan updating pelaporan dan publikasi SBDK untuk dijadikan acuan bagi nasabah saat mengajukan kredit," ujar Anto.

"Tentunya, besaran SBDK tiap bank berbeda-beda tergantung dari biaya ditanggung serta margin yang ingin di terima Bank. Penetapan SBDK juga dipengaruhi oleh potensi risiko yang dihadapi oleh bank dalam melakukan penyaluran kredit," pungkasnya. (OL-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Baharman
Berita Lainnya