Headline
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.
BUNGA kredit perbankan semestinya tak mengacu pada tingkat bunga acuan Bank Indonesia maupun bunga simpanan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Perbankan dinilai bisa untuk berinisiatif menurunkan bunga kredit selama memiliki likuiditas yang cukup.
Hal itu disampaikan Ekonom Senior dan Associate Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto saat dihubungi, Kamis (22/2). Dia menilai, bunga kredit perbankan sudah semestinya mengikuti mekanisme pasar.
"Ini memang semestinya mekanisme pasar yang bekerja, bank yang memiliki bunga kredit rendah sudah pasti akan banyak dicari oleh calon debitur. Jadi selama dia punya likuiditas, dia bisa berinisiatif menurunkan bunga tanpa harus menunggu BI Rate maupun LPS Rate," ujarnya.
Baca juga : Pertumbuhan Kredit Melambat, Perbankan Masih Yakin Capai Target?
Dengan begitu, bank yang memiliki kecukupan likuiditas dan berani memasang bunga kredit paling rendah akan menjadi incaran calon debitur. Apalagi dunia usaha mulai mengeluhkan tingginya bunga kredit perbankan sehingga mengaku kesulitan untuk melakukan ekspansi.
Ryan menambahkan, dunia usaha juga sedianya memiliki banyak pilihan. Setidaknya ada 103 bank di Indonesia yang dapat dijadikan pilihan untuk membiayai aktivitas bisnis para pelaku usaha. Jika saat ini bunga kredit dinilai terlampau tinggi, maka pebisnis dapat berpindah ke bank lain.
"Ada 103 bank di Indonesia, 10 di antaranya merupakan bank besar. Kalau memang di salah satu bank ini dinilai bunganya terlalu tinggi, mereka bisa saja pindah ke bank lain, tidak ada yang salah dengan hal itu," tuturnya.
Baca juga : Bank Indonesia Memastikan Likuiditas Cukup untuk Jaga Stabilitas Sistem Keuangan
"Hal itu nantinya juga secara tidak langsung akan membuat bank meninjau kembali soal kebijakan bunganya. Akhirnya bank-bank akan bersaing untuk mematok bunga kredit yang rendah, ini mekanisme pasar," tambah Ryan.
Keluhan mengenai tingginya bunga kredit bank diamini oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Dari pandangan pelaku usaha, salah satu sebab bunga kredit perbankan mahal karena BI Rate saat ini masih cukup tinggi, yakni 6%.
"Suku bunga ini memang akan memengaruhi kemampuan dunia usaha untuk meminjam atau menambah modal usaha atau untuk investasi. Jadi untuk dunia usaha melakukan ekspansi itu agak menurun dan bahkan kecenderungannya memilih untuk menahan uang di bank saja," ungkap Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang saat dihubungi terpisah.
Baca juga : Bank Indonesia: Penyaluran Kredit Baru Mei 2023 Diprediksi Meningkat
Karenanya, dia berharap BI dapat segera menurunkan tingkat bunga acuan agar bunga kredit perbankan juga dapat menurun. Sebab dunia usaha membutuhkan biaya pendanaan yang murah agar bisa melakukan ekspansi bisnis.
Namun Sarman turut menyadari kebijakan yang ditempuh BI cukup beralasan, mengingat ancaman inflasi masih membayangi dan perekonomian global belum menentu. "Kami tetap berharap BI tetap responsif melihat perkembangan ekonomi global, termasuk negara mitra dagang kita. Kita harap kebijakan suku BI ini bisa membuat dunia bergairah dan perekonomian kita semakin membaik," kata dia.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank BCA David Sumual mengatakan, sejauh ini perbankan melihat kondisi dunia usaha di Tanah Air masih relatif cukup baik. Pertumbuhan kenaikan bunga kredit perbankan selama ini juga disebut masih berada jauh di bawah kenaikan BI Rate.
Baca juga : BI Minta Perbankan Turunkan Suku Bunga Kredit
"Walau suku bunga bank sentral naik, suku bunga pinjaman itu tidak naik setara dengan BI. Kenaikan bunga untuk kredit investasi dan kredit modal kerja itu sekitar 100-120 basis poin. Bahkan kredit konsumsi cenderung stagnan," jelasnya dalam Diskusi Denpasar 12 bertema Pemilu 2024 dan Masa Depan Perekonomian Indonesia, Rabu (21/2).
Secara umum, pertumbuhan kredit perbankan tahun ini masih bisa terakselerasi. Asalkan, kata David, pemerintah dapat melakukan belanja negara dengan cepat dan tepat. Itu menurutnya secara tidak langsung akan menambah likuiditas di perbankan untuk menyalurkan kredit.
"Memang ada dana yang masih cukup besar tersimpan di BI. Dana ini tidak circulate di sistem. Ini tentunya tambahan likuiditas yang kita harapkan di perbankan. Karena kalau hanya ngendon di BI seperti Juli tahun lalu nilainya sampai Rp800 triliun. Kalau belanja (tahun ini) bisa lebih kuat, ini kita berharap likuiditas bisa meningkat dan mendorong pertumbuhan kredit," pungkasnya. (Z-4)
PENURUNAN suku bunga kredit perbankan tercatat masih berjalan lambat setelah suku bunga acuan (BI-Rate) dipangkas sebesar 100 basis poin (bps) sejak September 2024.
SWID catat lonjakan penjualan 270% di Q2 2025, dorong stabilitas baru. Fokus pada recurring income & diversifikasi perkuat fondasi jangka panjang.
Rencana kebijakan anyar mengenai DHE SDA telah dikaji dan dibahas dengan matang oleh pemerintah bersama Bank Indonesia.
Bank Indonesia menahan suku bunga acuan di level 6,00%, Waketum Kadin Bidang Energi Minyak dan Gas Bobby Gafur Umar mengatakan hal tersebut sudah diperkirakan.
Mahfud Md menyoroti banyaknya korban atas praktik pinjaman online (pinjol). Memberikan pinjaman dengan bunga mencekik, praktik yang merugikan rakyat ini harus ditindak secara tegas.
Keputusan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan BI rate harus segera disambut pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
PT Bank Central Asia Tbk (BCA) akan menggelar BCA Expo 2025 di Hall 5–10 ICE BSD City, Kabupaten Tangerang, pada 22–24 Agustus 2025.
PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) mencatatkan kinerja positif sepanjang semester I 2025. Penyaluran kredit tumbuh sebesar 5,97% secara tahunan (yoy) menjadi Rp1.416,62 triliun.
PT Bank Danamon Indonesia membukukan total kredit dan trade finance konsolidasi sebesar Rp195,7 triliun di sepanjang semeseter pertama 2025.
Di tengah peningkatan penyaluran kredit, kualitas kredit tetap terjaga, tercermin dari rasio kredit bermasalah (NPL) gross sebesar 2,22% dan NPL net sebesar 0,84%.
Teknologi membuka peluang efisiensi baru — mulai dari underwriting yang lebih cepat dan presisi, hingga klaim otomasi dan prediksi risiko berbasis perilaku.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved