Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Studi Terbaru Catat Gelombang Musim Panas 2022 di Eropa Tewaskan 61 Ribu Orang 

Devi Harahap
11/7/2023 08:22
Studi Terbaru Catat Gelombang Musim Panas 2022 di Eropa Tewaskan 61 Ribu Orang 
Ilustrasi turis mengenakan payung dan penutup kepala menghindari gelombang panas di Swiss(AFP/ CRISTINA QUICLER)

BADAN statistik Uni Eropa, Eurostat, melaporkan lebih dari 61.000 orang meninggal karena panas ekstrem selama musim panas tahun lalu. Studi terbaru yang dipublikasi pada Senin (10/7) itu menyerukan agar diambil tindakan nyata untuk memitigasi kondisi masyarakat dari perkiraan panas ekstrem yang jauh lebih mematikan di tahun-tahun mendatang.

Benua yang mengalami musim panas paling ekstrem ini juga mengalami bencana kekeringan yang merusak tanaman pangan dan kebakaran hutan yang dahsyat. Dilaporkan, tingkat kematian tertinggi akibat musim panas terjadi pada 2022, peristiwa ini menjadi salah satu gelombang panas terburuk dalam sejarah Eropa.

Sementara itu, tim peneliti dari Barcelona Institute for Global Health dan lembaga penelitian kesehatan Prancis INSERM mengamati data suhu dan jumlah kematian dari selama 8 tahun dari 2015 hingga 2022 di 823 wilayah di 35 negara Eropa, mereka menemukan 543 juta orang meninggal di Eropa. 

Studi yang dipublikasikan di Nature Medicine, berfokus pada periode antara 30 Mei dan 4 September 2022 dan menemukan 61.672 orang meninggal di Eropa. Puncak gelombang panas tertinggi dan sangat intens terjadi pada minggu 18-24 Juli menyebabkan lebih dari 11.600 kematian. 

“Ini adalah jumlah kematian yang sangat tinggi. Kami mengetahui dampak gelombang panas terhadap kematian setelah tahun 2003, tetapi dengan analisis ini, kami melihat masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk melindungi masyarakat,” kata Hicham Achebak, seorang peneliti INSERM seperti dilansir dari AFP, pada Selasa (11/7). 

Penelitian oleh para ilmuwan di Institut Kesehatan Global Barcelona dan Institut Kesehatan Nasional Prancis menunjukkan Italia menderita jumlah kematian akibat suhu panas tertinggi di angka 18.010. Italia diikuti oleh Spanyol, dengan 11.324 kematian, dan Jerman, dengan 8.173 kematian.

Untuk tingkat kenaikan suhu tahun lalu, Prancis mencatat sebagai negara dengan kenaikan suhu panas terbesar dibandingkan dengan rata-rata musim panas sebelumnya, dengan lonjakan sebesar 2,43 derajat Celcius. Sedangkan Swiss tidak jauh di belakang dengan kenaikan 2,30C, diikuti oleh Italia dengan 2,28C dan Hungaria dengan 2,13C. 

Mayoritas kematian akibat suhu panas jauh lebih tinggi terjadi pada para orangtua, terutama pada wanita dengan rentang usia di atas 80 tahun dengan total mencapai 63%. Jika dibandingkan dengan pria, kematian wanita memiliki tingkat kematian 27% lebih tinggi.

Baca juga:  Cuaca Panas Ekstrem, Ini yang Perlu Diwaspadai dan Dilakukan agar Tetap Sehat Menurut Kemenkes

Diketahui, penelitian sebelumnya telah menunjukkan Eropa mengalami pemanasan dua kali lipat dari rata-rata global, tahun lalu bahkan suhu Eropa meningkat sekitar 2,3C lebih panas dari masa pra-industri. Sementara dunia telah memanas rata-rata hampir 1,2C sejak pertengahan 1800-an. 

Peneliti lebih lanjut menjelaskan jika tidak ada tindakan preventif dalam memerangi krisis iklim, diperkirakan keadaan akan semakin parah di mana pada tahun 2030 Eropa akan menghadapi rata-rata lebih dari 68.000 kematian akibat gelombang panas setiap musim panas. 

Para peneliti memprediksi pada tahun 2040, akan terjadi tingkat kematian yang lebih tinggi dengan rata-rata lebih dari 94.000 jiwa. Jumlah ini akan semakin bertambah menjadi 120.000 jiwa pada tahun 2050. Prediksi ini didasarkan pada tingkat kerentanan saat ini dan suhu di masa depan. 

Raquel Nunes, seorang ahli kesehatan dan iklim di Universitas Warwick, Inggris, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengatakan penelitian terbaru ini menyoroti kebutuhan mendesak akan tindakan nyata untuk melindungi populasi yang rentan dari dampak gelombang panas. 

Sementara itu, Chloe Brimicombe, seorang ilmuwan iklim di Universitas Graz, Austria, mengatakan bahwa penelitian ini menunjukkan bahwa strategi pencegahan panas perlu dievaluasi kembali, terutama dengan mempertimbangkan gender dan usia.(M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya