Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Begini Cara Rusia Memerangi YouTube dan TikTok

Adiyanto
23/1/2021 17:45
Begini Cara Rusia Memerangi YouTube dan TikTok
Seorang perempuan sedang menonton video investigasi yang dilakukan tokoh oposisi Rusia Alexei Navalny, Rabu (21/1)(Alexander NEMENOV / AFP)

"Saya orang Amerika!," seru seorang pemuda Rusia dengan nama pengguna Neurolera dalam bahasa Inggris di aplikasi berbagi video populer TikTok. Di video itu, dia ingin menjelaskan cara menyamar sebagai turis untuk menghindari penangkapan saat demonstrasi di jalanan.

Video  yang diunggah sebelum unjuk rasa untuk mendukung  Alexei Navalny, tokoh oposisi Kremlin yang dipenjara itu, telah ditonton lebih dari 500.000 kali. Sementara itu, video lainnya yang menuntut pembebasan Navalny, telah ratusan juta kali dilihat di platform tersebut.

Di Rusia, sejumlah media yang dikendalikan negara hidup berdampingan dengan platform online yang populer di kalangan oposisi. Namun, pihak berwenang kini mulai meningkatkan pengawasan terhadap sejumlah platform asing tersebut, bahkan memblokir situs yang dianggap sebagai ancaman.

Sejauh ini, YouTube telah menjadi sumber berita utama bagi banyak anak muda Rusia. Channel milik Youtuber  Yuri Dud, yang dikenal karena wawancaranya dengan sejumlah selebritas, atau juru kampanye anti-korupsi Navalny,  sangat popular di negara itu.

Tidak lama setelah penangkapan Navalny, timnya mengunggah tayangan yang menyelidiki sebuah istana mewah di Laut Hitam yang diduga milik Presiden Rusia Vladimir Putin. Video tersebut telah ditonton lebih dari 60 juta kali di YouTube, sejak dipublikasikan pada Selasa (20/1).

Dalam beberapa tahun terakhir, otoritas Rusia  mulai memperketat "Runet" (segmen Internet Rusia) dengan dalih memerangi ekstremisme, terorisme, dan melindungi anak di bawah umur. Pada 2019, mereka mengesahkan undang-undang untuk pengembangan "internet berdaulat", yang bertujuan  mengisolasi Runet dari web di seluruh dunia. Para aktivis mengkhawatirkan kebijakan ini akan memperketat kontrol pemerintah di dunia maya dan membungkam kebebasan berbicara.

Denda

Pekan ini, badan eksekutif federal Rusia yang bertanggung jawab untuk media dan telekomunikasi, Roskomnadzor mulai bereaksi terhadap gelombang seruan untuk mendukung Navalny. Mereka mengancam sanksi denda kepada jaringan media sosial jika tidak menghapus konten yang menghasut anak di bawah umur untuk berpartisipasi dalam demonstrasi.

Roskomnadzor menyebut TikTok  telah menghapus 38% informasi yang menghasut anak di bawah umur melakukan tindakan ilegal berbahaya. Menurut mereka,  jejaring media sosial lain, termasuk Instagram dan YouTube juga telah menghapus konten atas permintaannya. “Platform yang tidak mematuhi dapat dikenakan denda hingga 4 juta rubel (sekitar US$53 ribu atau 43 ribu euro),” kata Roskomnadzor.

Rusia juga telah melarang sejumlah situs web yang menolak bekerja sama dengan pihak berwenang, seperti platform video Dailymotion dan situs jejaring profesional LinkedIn.

Tetapi, sepertinya mereka sulit untu melarang YouTube, platform yang dimiliki oleh raksasa teknologi Google. "Roskomnadzor tidak memiliki banyak dana," kata Artyom Kozlyuk, kepala LSM hak digital Roskomsvoboda. "Mereka praktis tidak memiliki pengaruh," imbuhnya.

Menurut Kozlyuk, sulit untuk menekan jaringan media sosial Barat. Sebab, jika itu dilakukan bakal menghantam reputasi mereka karena dianggap telah membuat konsesi dengan rezim politik (pemerintah).

Pesaing lokal

Dalam kasus TikTok, prosedur dapat difasilitasi oleh kedekatan Kremlin dengan Tiongkok, negara yang ahli dalam sensor internet. Tetapi, Moskow tampaknya masih menghadapi kekurangan pengetahuan tentang jejaring media sosial populer ini.

RT, lembaga penyiaran yang didanai Kremlin (dulu bernama Russia Today) pada Rabu (21/1) lalu mengatakan, pemerintah akan memberikan pelatihan atau semacam kursus kepada pejabat berwenang untuk membantu memahami bahasa gaul anak muda di situs-situs seperti TikTok.

Tahun lalu, Rusia mengakui kegagalannya untuk melarang platform terenkripsi Telegram, setelah berbulan-bulan berupaya memblokirnya.

Pihak berwenang kini malah membuat platform lokal seperti RuTube,  yang dimiliki oleh media terkemuka Rusia yang memegang Gazprom-Media (dikendalikan oleh raksasa energi Gazprom), untuk menyaingi YouTube. Platform video yang hanya memuat konten yang disetujui pemerintah ini, jelas tidak ada artinya dibandingkan dengan YouTube.

Tetapi, CEO Gazprom-Media, Alexander Zharov, yang juga mantan kepala Roskomnadzor, mengatakan, dalam dua tahun ke depan mereka akan meluncurkan versi RuTube yang lebih baik.

Dia juga mengumumkan pengembangan "TikTok ala Rusia" dengan dukungan yayasan Innopraktika, sebuah organisasi yang diduga dikelola oleh Katerina Tikhonova , salah satu anak perempuan Putiin. Namun, menurut Kozlyuk, setelah lebih dari 20 tahun internet digratiskan, upaya ini harusnya dilakukan sejak jauh hari. “Pihak berwenang telah melewatkan kesempatan mereka,” ujar dia. (AFP/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya