Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
SUATU malam, kawan saya di Bali curhat lewat aplikasi Whatsapp. Selama pandemi ini, kata dia, kehidupan jadi tidak menentu. Penuh ketidakpastian. “Hari ini masih gajian, bulan atau tahun depan belum tentu. Gue stres,” tulisnya.
Saya sepakat. Jangankan kita yang awam, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun ngeri dengan situasi ekonomi akibat pandemi ini. Beberapa hari lalu, Bank Dunia bahkan merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini, dari 0% (pada Juli) menjadi -1,6% hingga -2%.
Angka ini sebetulnya tidak jauh berbeda dengan prediksi pemerintah, yakni -0,6% hingga -1,7%. “Forecast terbaru kita pada September untuk 2020 ialah -1,7% sampai -0,6%. Ini artinya, negative territory mungkin terjadi pada kuartal III,” kata Sri Mulyani dalam video conference APBN KiTa, Selasa (22/9).
Dari omongan mantan salah satu direktur Bank Dunia itu, boleh dibilang Indonesia sudah masuk jurang resesi. Pada kuartal sebelumnya, pertumbuhan ekonomi sudah -5,6%. Resesi adalah kondisi pertumbuhan ekonomi minus di dua kuartal berturut-turut. Sejumlah negara, termasuk Singapura, malah sudah terjerembap lebih dulu.
Jika menengok media sosial, terutama Facebook dan Instagram, sepertinya negara ini baik-baik saja. Foto makanan, orang tamasya ke puncak, dan mereka yang mengayuh sepeda seharga puluhan hingga ratusan juta, bertebaran di kedua platform tersebut.
Namun, coba lihat Linkedin. Di situs dan aplikasi jaringan sosial yang terutama digunakan para profesional itu, kian banyak orang meratap kehilangan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat hingga 31 Juli 2020, jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta orang lebih. Entah bulan-bulan berikutnya.
Inilah yang dikhawatirkan kawan saya tadi dan juga mungkin sebagian besar dari kita, termasuk saya. Namun, saya tidak mau terlampau mencemaskannya apalagi sampai stres berlebihan. Sebagai buruh yang secara tidak langsung terdampak pandemi ini, saya tetap bersyukur masih bisa bekerja dan merenung di rumah.
Saya pikir, pandemi yang telah berlangsung sejak Maret lalu ini, telah banyak memberi kita pelajaran. Tidak hanya soal cuci tangan dan pentingnya menjaga kebersihan, tetapi juga cara menjalani hidup. Mungkin selama ini manusia terlena oleh kebiasaan dan keteraturan. Merasa di zona nyaman. Jam sekian bangun tidur dan sarapan. Akhir pekan hang out atau pelesiran. Tanggal sekian gajian dan bayar tagihan. Seolah itu siklus rutin dan pasti. Padahal, siapa bisa menjamin besok matahari terbit lagi?
Kini, ketika badai menghantam, sebagian dari ‘robot-robot’ ini tidak siap, kaget, dan terguncang. Ujung-ujungnya stres dan depresi. Dengan kecanggihan teknologi, mungkin kini manusia secara fisik semakin sehat dan kuat. Ada alat pengukur detak jantung, tekanan, hingga kadar gula darah yang dibenamkan dalam smartphone atau arloji, misalnya. Namun, bagaimana dengan kesehatan jiwa?
Padahal, kata Bill Gates, pandemi ini hanyalah awal. Dalam blog pribadinya yang diunggah pada 4 Agustus lalu, sang taipan teknologi ini mengingatkan bahaya lain yang lebih mengerikan, perubahan iklim. Jika tidak diantisipasi dari sekarang, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, kekeringan, punahnya beragam spesies, serta krisis pangan, akan semakin meluas di masa depan. Bagaimana nasib anak- cucu kita nanti?
Selama ini di tengah kesibukan mencari nafkah dan bergunjing di media sosial, semua itu mungkin bukan menjadi prioritas perhatian kita. Sayangnya, deru lokomotif zaman tidak memaklumi pengecualian semacam itu. Semua manusia tidak akan terbebas dari segala konsekuensinya. Apalagi, di era yang kian terhubung ini, sekecil apa pun perbuatan kita bakal berdampak pada orang atau makhluk di benua lain. Bukankah pandemi ini juga berawal dari seseorang yang batuk di Wuhan?
Makanya, mulai sekarang, laku budaya diubah. Ikuti protokol kesehatan. Jangan buang dahak atau upil sembarangan karena seperti kata salah satu iklan di televisi, ‘Biar kecil, sampah ya sampah’. Dampaknya besar bagi keberlangsungan planet ini.
Selamat berakhir pekan. Salam sehat jiwa raga.
Pemerintah didorong melakukan reformasi menyeluruh terhadap struktur tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT).
PEMERINTAH bakal memayungi Koperasi Desa Merah Putih yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Kopdes Merah Putih itu dapat menikmati fasilitas kredit
Pemerintah mengajukan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun untuk mendanai defisit APBN 2025 yang diproyeksikan melebar menjadi 2,78% dari PDB.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, Indonesia membutuhkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi yang tinggi guna mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Keputusan BI mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50% dipandang sebagai langkah konservatif yang tepat di tengah ketidakpastian global dan perlambatan ekonomi domestik.
Ketidakpastian dunia saat ini disebut bakal bersifat permanen dan mengubah tatanan global.
Studi terbaru mengungkapkan vaksinasi anak mengalami stagnasi dan kemunduran dalam dua dekade terakhir.
Diary, merek perawatan kulit (skin care) asal Bekasi, sukses menembus pasar Vietnam dan Jepang berkat inovasi produk, strategi digital, dan semangat pantang menyerah.
Produksi masker ini. bersamaan dengan produk lain seperti kopi, keripik udang dan coklat lokal membawa Worcas mendapatkan perhatian pasar domestik internasional.
Tahun 2020, sepasang peneliti India mengklaim lockdown global selama pandemi Covid-19 menyebabkan penurunan suhu permukaan bulan.
Jumlah wisman yang datang langsung ke Bali pada Januari-November 2023 sebanyak 5.782.260 kunjungan, sementara pada periode yang sama tahun 2019 sebanyak 5.722.807 kunjungan.
KETUA Satgas Covid-19 PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Erlina Burhan mengungkapkan bahwa human metapneumovirus atau HMPV tidak berpotensi menjadi pandemi seperti yang terjadi pada covid-19.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved