Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
WILAYAH Arktik sering kali mengalami suhu yang mendukung terbentuknya lapisan awan campuran, yang mengandung butiran air cair dan kristal es dingin.
Susunan awan ini memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan energi dan sistem iklim di kawasan tersebut. Awan yang mengandung lebih banyak cairan cenderung bertahan lebih lama dan memantulkan lebih banyak sinar matahari daripada yang didominasi oleh kristal es.
Dengan menghangatnya Kutub Utara, para ahli meteorologi tertarik untuk memahami bagaimana perubahan suhu memengaruhi komposisi awan dan dampak lebih luas terhadap lingkungan. Secara umum, model iklim memprediksi bahwa ketika Kutub Utara menghangat, awan di wilayah tersebut akan mengandung lebih banyak air cair dan lebih sedikit es, karena suhu yang lebih tinggi menghambat pembentukan kristal es.
Baca juga : Unas Jadi Tuan Rumah Simposium Internasional Climate Change
Namun, pembentukan awan juga dipengaruhi keberadaan aerosol yang berfungsi sebagai pemicu, baik untuk kondensasi tetesan air maupun pembentukan kristal es.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Communications Earth & Environment pada 18 September 2024, tim peneliti yang dipimpin Associate Professor Yutaka Tobo dari National Institute of Polar Research, Jepang, meneliti hubungan antara peningkatan suhu udara permukaan dan aerosol yang dikenal sebagai partikel nukleasi es (ice-nucleating particles/INP), yang mampu meningkatkan pembentukan kristal es di awan.
Penelitian tersebut menemukan pemanasan permukaan di Kutub Utara meningkatkan jumlah salju yang mencair dan memperluas area bebas es, yang kemudian menghasilkan pelepasan INP dalam jumlah lebih tinggi. INP ini mendorong pembentukan kristal es di awan, mengurangi jumlah air cair pada awan fase campuran, dan berpotensi mempercepat pemanasan lebih lanjut.
Baca juga : Antara Venesia dan Jakarta
"Kami menemukan bahwa jumlah INP meningkat secara eksponensial dengan meningkatnya suhu udara permukaan, terutama ketika suhu naik di atas 0°C dan area bebas es atau bervegetasi mulai muncul di Svalbard, wilayah yang memanas lima hingga tujuh kali lebih cepat dari rata-rata global," jelas Associate Professor Tobo
Pengamatan ini didasarkan pada pengukuran INP yang dilakukan sepanjang tahun selama proyek Multidisciplinary drifting Observatory for the Study of Arctic Climate (MOSAiC), dari September 2019 hingga awal Oktober 2020, di Observatorium Zeppelin di Svalbard. Para peneliti mengumpulkan sampel aerosol dan menggunakan metode pembekuan tetesan untuk mengidentifikasi jumlah INP, dengan mengekspos sampel pada suhu rendah untuk melihat apakah mereka dapat membentuk es.
Hasil penelitian menunjukkan jumlah INP meningkat selama bulan-bulan hangat (pertengahan April hingga September) ketika suhu udara di atas 0°C. Melalui pemindaian mikroskop elektron dan analisis sinar-X, ditemukan pada bulan-bulan hangat, INP yang terdeteksi sebagian besar berupa debu mineral dan partikel karbon, yang menyerupai mikroorganisme atau sisa-sisa tanaman.
Baca juga : Investasi di Sektor Lingkungan Hasilkan Keuntungan Berlipat
Jadi, dari mana aerosol ini berasal? Data Indeks Vegetasi Normal (Normalized Difference Vegetation Index/NDVI) menunjukkan bahwa selama musim panas, sekitar 35% wilayah Svalbard memiliki nilai NDVI positif antara 0 hingga 0,5, yang mengindikasikan adanya wilayah yang tidak tertutup salju, seperti dataran gletser dan area dengan vegetasi seperti rumput, lumut, dan liken. Ini mengisyaratkan bahwa INP berasal dari debu dan aerosol organik biologis, seperti mikroorganisme atau sisa-sisa tanaman, yang dilepaskan dari daerah ini.
Temuan ini menimbulkan kekhawatiran, karena tren pemanasan di musim dingin lebih parah daripada musim panas, dengan peningkatan suhu lebih dari 2°C per dekade di Svalbard. Ketika area bebas es semakin meluas selama musim dingin Arktik di masa mendatang, emisi INP diperkirakan akan meningkat, yang dapat mengubah komposisi awan fase campuran di kawasan tersebut.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa pasokan INP dari sumber terestrial di lintang tinggi mungkin akan meningkat seiring proyeksi pemanasan permukaan. Oleh karena itu, fenomena ini harus dipertimbangkan dalam model iklim untuk memperdalam pemahaman kita tentang transisi fase awan di Kutub Utara," pungkas Associate Professor Tobo.
Ilmuwan merilis model terbaru melacak posisi kutub utara magnetik Bumi, mengungkapkan kutub tersebut kini lebih dekat ke Siberia dibandingkan lima tahun lalu.
Aurora merupakan salah satu fenomena alam paling memukau yang terjadi di langit bumi.
Explorer's Grand Slam adalah gelar prestisius bagi pendaki yang berhasil menaklukkan Seven Summits dan mencapai Kutub Utara serta Kutub Selatan.
Astronom dari University of California, Berkeley, menemukan bintik gelap ultraviolet di kutub utara dan selatan Jupiter yang muncul dan menghilang secara acak.
BUMI merupakan magnet raksasa. Sebagai magnet raksasa, Bumi memiliki kutub magnet, yaitu kutub utara magnet dan kutub selatan magnet.
“Beruang pada umumnya cukup kuat terhadap penyakit. Penyakit ini biasanya tidak diketahui memengaruhi populasi beruang,"
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved