Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Southgate dan Trauma Wembley

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
26/6/2021 05:30
Southgate dan Trauma Wembley
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(MI/Seno)

PELATIH Belanda yang menjadi penemu total football, Rinus Michels, mempunyai pandangan bombastis: Football is war. Ketika ia memimpin tim ‘Oranye’ memenangi Piala Eropa 1988 dengan membalas kegagalan di ajang Piala Dunia 1974, jumlah warga Belanda yang merayakan pesta kemenangan jauh lebih banyak daripada ketika bangsa itu menyambut berakhirnya Perang Dunia II.

Sepak bola tidak bisa dilepaskan dari emosi nasionalisme. Seorang penulis dan wartawan, Arthur Koestler, menyebutnya sebagai nasionalisme sepak bola. Ia sendiri lahir di Budapest, tetapi warga negara Inggris.

Namun, dalam urusan sepak bola, ia merupakan pendukung sejati Hongaria.

Begitu kuatnya emosi nasionalisme sering kali membuat pertandingan sepak bola membawa emosi sejarah masa lalu. Ketika Korea Selatan mampu mengalahkan kesebelasan Jepang, itu selalu dikaitkan dengan emosi pembalasan atas penjajahan Jepang terhadap bangsa Korea.

Pertemuan Inggris melawan Jerman di perdelapan final Piala Eropa, Selasa (29/6), tidak bisa tidak lalu juga dikaitkan dengan perseteruan lama pada masa Perang Dunia II. Persaingan antardua raksasa sepak bola Eropa di lapangan hijau dikaitkan lagi dengan emosi The Battle of Britain.

Bangsa Inggris tidak pernah melupakan blokade yang dilakukan tentara Jerman pada Perang Dunia II. Kapal selam Jerman menutup semua jalur transportasi keluar-masuk Inggris. Pesawat pengebom Jerman berbulan-bulan membombardir Kota London agar Inggris Raya mau menyerah.

Memang banyak kritikan untuk tidak mengaitkan sepak bola dengan sejarah kelam masa lalu. Namun, sejarah sepak bola tidak bisa dilepaskan masalah kesukuan. Ketika Tottenham Hotspur bertemu dengan Arsenal, itu bukan sekadar persaingan siapa yang terbaik di London Utara, melainkan sudah berkaitan persaingan antara kelompok Yahudi dan Kelompok Irlandia. Ketika Glasgow Rangers bertemu Glasgow Celtics di Liga Skotlandia, itu penuh persaingan antara warga penganut Katolik dan Protestan.

Beberapa pertandingan sepak bola telah memprovokasi kekerasan dan dalam satu kasus bahkan perang seperti terjadi 1969 antara Honduras dan El Salvador, tetapi perseteruan antardua tim memiliki tujuan positif. Setidaknya sebagai sebuah katarsis untuk menahan impuls kita yang lebih buruk dengan mengalihkannya ke olahraga belaka.

Apalagi pada akhirnya sepak bola bisa mempersatukan bangsa. Ketika Prancis memenangi Piala Dunia 1998, sentimen ultrakanan yang diusung politisi seperti Marie Le Pen tidak laku dijual karena banyak warga Prancis berdarah Arab dan Afrika justru membawa negara itu menjadi yang terbaik di dunia.

 

 

Tidak terhindarkan

Inggris yang tengah berupaya mengembalikan kebesaran sepak bola seperti 1966 harus melewati perjalanan yang sangat terjal. Pertemuan di awal-awal kejuaraan untuk menghadapi Jerman benar-benar merupakan perjuangan sangat berat.

Dari lima pertemuan mereka di turnamen resmi, hanya di Stadion Wembley 1966 Inggris bisa mengalahkan Jerman. Hattrick dari Geoff Hurst membawa St Georges menjadi juara dunia dengan kemenangan 4-2 atas Jerman (Barat) melalui perpanjangan waktu.

Seperempat abad lalu di tempat yang sama, justru Three Lions yang harus menelan pil pahit. Di semifinal Piala Eropa 1996, ambisi Inggris untuk mengembalikan sepak bola ke tanah asalnya, buyar setelah kalah dalam drama adu penalti. Tim asuhan Terry Venables dipaksa menyerah 6-5.

Pelaku drama adu penalti hadir kembali pada pertandingan Selasa nanti. Gareth Southgate yang membuyarkan harapan Inggris, kini menjadi pelatih Three Lions. Kiper yang mematahkan tendangan penalti Southgate kini menjadi pelatih kiper Jerman, yaitu Andreas Koepke.

Wajar apabila trauma 1996 menggelayut di dalam pikiran Southgate. Bukan tidak mungkin drama adu penalti kali ini pun akan terulang kembali. Catatan statistik menunjukkan Inggris selalu kalah beruntung dari Jerman kalau sudah sampai adu penalti.

Di semifinal Piala Dunia 1990 Inggris tersingkir oleh Jerman (Barat) dalam drama adu penalti. Di Stadion Delle Alpi, Torino, Italia, Stuart Pearce dan Chris Waddle gagal menjalankan tugasnya sehingga Three Lions harus kalah 3-4.

Southgate mencoba untuk percaya diri dan mengajak tim asuhannya untuk melupakan kepahitan masa lalu. “Apabila kita ingin menjadi juara, kita harus mampu mengalahkan tim-tim yang kuat seperti Jerman,” kata pelatih Inggris itu.

Berbekal kesuksesan klub-klub Inggris untuk berjaya hingga pertandingan puncak Liga Champions dan Liga Eropa, Southgate yakin dengan kemampuan anak asuhnya. Tiga hal yang mengganggu persiapan Inggris di ajang Piala Eropa kali ini ialah waktu berlatih bersama yang pendek, cedera yang dihadapi pemain kunci, seperti Harry Maguire dan Jordan Henderson, serta ancaman covid-19.

Setidaknya dua anak asuhannya, Mason Mount dan Ben Chilwell, harus menjalani isolasi mandiri karena melakukan kontak erat dengan pemain Skotlandia, Billy Gilmour, yang positif covid-19. Keduanya harus absen berlatih bersama dan tidak bisa tampil saat Inggris menghadapi Republik Ceko pada pertandingan terakhir penyisihan Grup D.

 

 

Rendah produktivitas

Meski tampil sebagai juara Grup D, Inggris kehilangan produktivitas. Mereka baru membukukan dua gol melalui Raheem Sterling dalam tiga pertandingan, meski belum pernah kebobolan.

Southgate masih terus mencoba menemukan susunan terbaik yang ia inginkan. Namun, satu pemain yang mulai menonjol dan pantas dijadikan harapan, yakni gelandang serang asal Aston Villa, Jack Grealish. Ia mulai disebut sebagai pengganti Paul Gascoigne karena tampil penuh percaya diri dan menjelajah di semua lapangan permainan.

Dari aksinya Inggris mampu menjinakkan Republik Ceko. Gerakan Grealish dari sayap kiri membuat ia mampu membuat umpan matang ke mulut gawang lawan. Memang Bukayo Saka kurang tinggi untuk menyambut umpan silang Grealish, tapi Sterling yang ada di belakang Saka, mampu menyambut dengan sundulan kepala yang tidak bisa ditahan kiper Republik Ceko, Tomas Vaclik.

Dengan kecepatan dan permainan yang begitu cair, Inggris berpotensi untuk bisa keluar dari ‘kutukan adu penalti’ Jerman. Apalagi mereka memiliki dua gelandang bertahan, Declan Rice dan Kavlin Phillips, yang sangat efektif menjaga keseimbangan tim. Tinggal kini berharap kapten kesebelasan Harry Kane bisa menemukan kembali ketajamannya.

Jerman perlu tampil dengan performa seperti ketika menang 4-2 melawan Portugal. Tim asuhan Joachim Loew tidak hanya berani dalam bermain bola-bola pendek yang cepat, tetapi juga sangat variatif dalam menggempur pertahanan lawan.

Persoalan yang dihadapi Die Mannschaft ialah kelemahan di barisan pertahanan. Gawang Manuel Neuer sudah lima kali kebobolan dalam tiga pertandingan. Jerman tidak memiliki pemain yang punya kecepatan untuk menutup lubang kalau ada serangan balik. Baik saat menghadapi Prancis, Portugal, maupun Hongaria, pertahanan Jerman jebol karena serangan balik atau serangan dari sayap.

Padahal, prinsip bermain Jerman selama ini, memulai dari pertahanan yang kukuh untuk membangun serangan ke pertahanan lawan. Mereka dijuluki ‘Tim Panser’ karena merangsek dari bawah untuk kemudian menjebol gawang lawan. Satu pemain yang mempunyai kecepatan untuk menutup lubang di belakang, yakni Robin Gosens. Namun, gelandang asal Atalanta ini diandalkan membantu serangan dan akibatnya sering terlambat menutup pertahanan kiri Jerman.

Loew sangat menyadari masih ada kelemahan di tim asuhannya dan tahu apa yang harus dibenahi untuk itu. Apalagi ini merupakan partai ‘hidup dan mati’. Seluruh pemain pun paham apa yang harus dilakukan untuk menghadapi Inggris nanti.

“Kami tidak boleh melakukan kesalahan yang sama dan harus tampil lebih baik. Pertandingan nanti akan sangat terbuka karena mereka akan tampil menyerang. Namun, kalau kami bisa tampil seperti melawan Portugal, kami yakin untuk bisa lolos ke babak selanjutnya,” tegas Loew, yang akan pensiun setelah 15 tahun memimpin Die Mannschaft.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya