Ilustrasi: Grant Fuhst
Senyumlah Kau
Bolehkah aku menghisap madu
yang kau kumpulkan di ujung waktu
dari tumbuhan bunga bakung
dari tanaman semak belukar
dari ilalang yang malang
sebab aku tak sanggup
bila mereka merenggut paksa
pusaka tawa yang kau lontarkan
dalam waktu yang sedikit hilang
Bisakah kau kembali
duduk bersiul di sandingku
tak akan kubiarkan ragamu
mendaki curamnya kehidupan
tak akan kubiarkan relung hatimu
meratapi keruntuhan dinding kokoh
yang kau bangun dengan segenap
nurani sang petualang
Kuingin jiwamu kembali seperti sediakala
di mana kau masih melebarkan senyum
yang menyebar di penjuru dunia
yang merekah dan mengalahkan
manisnya madu di sarang Apis dorsata
2022
Rinduku
Perasaaan rindu keabadian
bergema di antara kesunyian malang
dihembuskan oleh desiran angin
entah ke mana arah tujuannya,
karena rinduku tak berujung
Bisakah engkau mendengar?
surat kabar dari semburan angin
membawa sejuta sajak-sajak indah
yang menuju terbang ke pelukanmu
wahai adinda, dengarlah seruan bisu
Tubuhku lemah digerogoti rindu tak bertuan
Bisakah pula engkau pulang?
agar nafasku tersenyum kembali
saat menatap elok tubuh berkulit susu
tanganku juga bergumam, ingin membelai
hitam legam rambutmu yang jurai dan terurai
2022
Pupus Cintaku
Dedaunan menguning berguguran ditelan kelabu
saat aku terima sepucuk surat dari merpati putih
senyummu dan dia beradu di sebingkai foto
meremukkan nurani yang terukir cinta
pupus harapan mempersuntingmu
bidadari yang lama kuimpikan
Bagaimana aku bisa hidup
sedang jantung hatiku milik tuan
padahal, ini langkah sudah bertahan
menjejakkan kaki menuju keabadian
agar sampai di pangkuan kasihmu
Sayang, sungguh disayang
tak pernah kujangkau belaianmu
kehampaan kembali menemani
berteman duri yang melekati hati
mematuk-matuk senyum sendiri
2022
Gadis Putus Cinta
Gema suara melenting
tapi nadanya sumbang
irama tak begitu beraturan
ternyata ia sedang kegalauan
haru menatapnya, ia menyendiri
di antara bukit dan tebing gersang ini
Baju compang camping
tubuh berlumuran penuh duka
alunan nada mengiringi tangisnya
air mata menetes perlahan di tanah
memeluk kepiluan di lembah kehidupan
tangannya memukul keras dinding tanah
kekecewaan menghampiri penuh rasa iba
Rupanya, ia gadis yang putus cintanya
menyisakan memori kekasih yang tiada;
telah pergi tuk memetik bunga lain dan
meyunting kembang desa di seberang
makin pilu jadinya, malang pula nasibnya
ia bergumam bagai orang sinting
2022
Cintaku
Aku tersindir kayu
yang dibakar api cemburu
padahal tak sepadan dengan besi
butiran tetanah juga mencoba merayu
dari ceceran hati yang menjejakkan ragu
Langkahku mulai berkabut
tak satupun abadi dalam lorong waktu
yang menunggu di gerbang penantian
mungkin telah bersanding damai
di antara pepohonan cemara
yang berdesir mengukir canda
tapi lesu pula nurani berdebu
karena cinta tak pernah berjalan
kembali duduk di pangkuanku
Biarlah
percuma jika aku bermimpi
meminang serabut duri-duri tajam
sedangkan jemari tak kuat menahan perih
saat ia berteduh dalam genggaman
Biarlah aku berlayar
meski hilang arah kapal di lautan
biarlah berlabuh di bawah semilir
daun kelapa pada dermaga tak bertuan
2022
Baca juga: Sajak-sajak Dessy Itaar
Baca juga: Sajak-sajak Putri Sekar Ningrum
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Vera Wulandari, lahir di Kota Probolinggo, Jawa Timur, 18 Januari 2000. Alumnus program studi Pengolahan Hasil Laut, Politeknik Kelautan dan Perikanan Jembrana, Bali (2021). Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Menerbitkan novel perdananya berjudul Detektif Setan Alenae (Jendela Sastra Indonesia Press, Gresik, 2019). Karya-karyanya berupa puisi juga termaktub dalam Antologi Puisi Rindu yang Tak pernah Usai (Jendela Sastra Indonesia Press, Gresik, 2021) dan Antalogi Puisi It’s Just About Life (ANM, Kediri, 2019). Kini, tinggal di Probolinggo. (SK-1)