Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Ilustrasi: MI/Gugun Permana
Siang bersama Bapak
ia masih sama, seorang pria lama
sekian waktu tak bersua, rindu.
Aku terjebak hujan nostalgia
tanpa kata mengandai asa;
“Pak, aku pergi dulu ke tanah Tsar.”
Hening ia katakan; “Nak, sampai jumpa!”
2021
Akulah gelandang ingin pulang
tak berumah pada apa, siapa
tak bermukim di sarang elang
apa guna tempat berpindah jika
orang-orang tak bersudah hilang;
aku pahami, salah tak ada.
Manusia hidup tanpa bertanya
hadir di antara megah tata surya
aku bukan bagian semestanya
tempat hanyalah ruang tak bernyawa
kenangan berdegup; berkubus arwah.
Tak perlu dipan, tanpa teras depan
rumahku ada di lengkung kokohnya dinding diri
rangka kaki beralas bumi, sanggup dibawa berlari
menemukan rumah, mengembara jauh
pencarian pada apa, siapa.
2021
Ibu adalah penyihir
meluruskan yang terpelintir
membangkitkan rasa seperdua mati
menemukan yang hilang tanpa mencari
mengikhlaskan apa yang dicuri, walau terhancur diri.
Ibu nyata, tak fatamorgana
ia magis, tangisi pergiku ditepis
tawa dilukis, bisik cibirnya bengis,
nyatanya; hati manis dan melankolis.
Ia pemburu ilmu tak jemu
menjelma pungguk, dirindui selalu
membuka kandang, membangun sarang, mengajari terbang.
2021
Aku hirup Engkau bak semilir
angin, berputar gusar,
merubah asin laut jepun jadi tawar.
Pada tetanah memerah aku tersadar
cuma Engkau tempat berpijak, bersandar.
2021
Akulah gelandang ingin pulang, tak bermukim di sarang elang.
Tulisan perpisahan, aku akan pulang
kau tunggu hingga petang datang
melihat jalanan masih lenggang.
Saban hari berbicara, menyisakan tanya
kata-kata tanpa tawa, tak cerita, ada duka
Menyambangi matahari pergi
menapaki sisa langkah kaki; bermuram durja,
aku akan ke mana?
2021
Bicaralah cara semesta bekerja
terselubung di palung relung sukma
yang dituju tidak bertemu; tak dinyana jadi nyata
Lindu rindu reda, bertuturlah agar aku tak menerka
seperti caramu berkelana di pembaringan roh Tolstoy.
2021
Kereta berangkat pukul empat
bercerita, bercumbu tak sempat
kota dilewati kelak dijumpai.
Aku tak tahu, apa kau menunggu
kereta melaju memupuk kelu
hening pilu, pening berlalu.
2021
Semesta bekerja selucu
lain waktu, hilir mudik tiba-tiba terpaku
sementara, cinta tak perlu dipaksa berpacu.
Bertemu di Vladivostok
pernah serbuk pahit menohok
jalan tak lurus, pun terus berkelok
namun; tak ada palsu, tak ada kedok.
Lalu waktu, lalu pergi
berjalan begitu saja, seperti mimpi
bertandang ke sana, ke sini
kau membawa cerita baru, aku memendam kisah lama ini.
2021
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Putri Sekar Ningrum, lahir di Jambi, pada 19 September 1999. Ia sangat gemar membaca karya-karya sastra klasik Rusia, Inggris, dan Prancis, suka menari kontemporer, dan giat menulis puisi. Ia sering terlibat dalam berbagai kegiatan pembacaan puisi, teater, dan festival pelajar internasional di Kota Tyumen dan Moskwa. Kini, dia sedang mengecap pendidikan S1 Liberal Arts and Sciences di School of Advanced Studies, Tyumen State University. Sajak-sajak ini menjadi bagian dalam buku antologi puisi Doa Tanah Air: suara pelajar dari negeri Pushkin yang akan segera diterbitkan. (SK-1)
Kata 'kofe' sendiri berarti kondisi awal gigi balita yang tumbuh pertama kalinya. Ia kemudian goyang dan jatuh sehingga terlihat ompong.
Kulit putih, bulu mata lentik. Kata orang itu cantik. Menurutku kita lebih manis.
Aku menyeberangi batas pantai di antara kebajikan dan kejahatan.
Maka bila kau berdoa tuk kebaikanku, itu mengiris ini hati.
Kita bukan generasi penerus bangsa, melainkan pengubah bangsa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved