Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Suara lirih dari arah jauh
mengabutkan jalanan berwajah pagi
melintasi tepian sungai Serayu
mencahaya berhulu di gunung Slamet
mengaruskan ke puluhan anakan sungai
mengulurkan jalinan ke dataran
di sini, di sudut desa Prigi membentuk rahim
kesuburan pada tubuh purba
langit membayangkan esok
mengasah ketajaman mata dari silsilah hari
memantul cahaya mendasyatkan doa Sai Bumi Ser
tubuh yang menghidupi setiap gerak di ladang-ladang raya
Bukan tak mungkin pohon jati yang rebah
di antara ilalang berjemari desau angin
hanya kesementaraan menjaga bantaran sungai
merawat sebagai kehendak alam raya
menata batu-batu berakar purba
seperti ingin menjahit bumi dari kerapuhan
Begitulah saat suara deras air melirih
telah terkikis peradaban yang disembunyikan
takdir pun menggusah mata cangkul di sela tanah
tersembur air kehidupan meriap di setiap rongga
yang bakal tumbuh umbi-umbi berwarna cinta
Di seluasan tegalan tak sepenuhnya ditanami kecemasan
seperti pagi menjelma menjadi peta yang lengkap dari ruh bumi
mengikatkan rajutan dataran, rawa, sungai dan lautan melimpahkan kehidupan
sebab setiap tanah yang dicangkul melebihi harapan di lahan yang digarap
lalu berbisikan kisah di atas getek menuju ke desa-desa
Sebenarnya tak ada di dadamu yang tandus
serupa sejengkal tanah berhumus
menanti tangan kehidupan pada tiap tarikan napas
tak sulit membedakan antara umbi dan padi
menjadi kisah abadi di lumbung-lumbung
saling bertemu di titian akar
sungai berlumut mengarus di tubuhmu
bersemah tumbuh dalam tarikh waktu
Sayup alir Serayu menawarkan rumah
dalam tubuh tersusup cahaya
seperti mengalirkan sejarah
takdir dari hulu hingga hilir
bebatuan di lereng ladang menyimpan rapat
sisa-sisa sejarah yang melekat
sesungguhnya getar jiwa terus belajar pada semesta
di luruh subuh, Serayu terasa hangat serupa secangkir kopi
tersedu antara pahit atau manis
sekedar menggenapi rasa.
Banyumas-Parepare, 2021
Biarkan aku benar-benar masuk ke pedalaman Meulaboh
menjadi si kecil Umar yang suka berkejar-kejaran lalu sembunyi
di rerimbun bambu. Tangan matahari melegamkan setiap langkah
menemukan kawan-kawan sebaya dan tertawa bersama
tapi tercatat diingatanku bila kemenangan
selalu berpihak menyentak hati
hanya sejemari sayatan ilalang di tanah Johan Pahlawan
Seperti masa kecil yang dibelai doa-doa
dingin dinding surau memeluk jiwa
kini waktu menumbuhkan usiaku
menjadi dewasa bermata awas
di ladang-ladang bergigir hutan, terasa tak ada yang hilang
serupa kesetiaan pergantian senja menuju malam.
Aku masih mendengar suara adzan dan bersujud
seperti yang diajarkan ayah di surau juga ibu dengan shalawat lirihnya
di tepi tempat tidurku
Tak ada yang bisa diam di dadaku
laut jantungku pasang menggemuruh
ketika langkah-langkah asing mulai menjejak di tanah leluhur
mondar-mandir memutari hutan berbukit daerah Daya Meulaboh
tapi sebenarnya aku tak bisa merubuhkan pohon-pohon itu sendiri
tanpa bergenggaman tangan dengan kawan-kawan. Juga rakyat
yang memilih angkat senjata
aku harus bersikap membangun jiwa
Rintih jiwa di dada mempertahankan tanah leluhur
menguatkan rasa sehalus lugut untuk kawan-kawan bak serdadu
mulai Meulaboh sampai Ke Ulee Lheu
juga Kuta Raja sampai ke Pidie
terus bergerak bahkan sampai yang tercatat
pada peta Negeri Pasir Karam menjelajahi keluasan
perjuangan dengan tetap merawat ingatan
di luhur kata kaum ulama
sambil tanpa henti membangun kesetiaan
Bagi orang-orang asing
bukan saja merambah tapi berhasrat jadi penakluk
menguasai bumi Aceh dengan melumuri darah
tanpa rasa bersalah dan aku tak ingin berkhianat, tapi hanya bersiasat
agar aroma lada tetap menjadi milik leluhurku
harus mampu menaklukan dengan getar jiwa
mengasah strategi untuk berbagi
dalam perjamuan cinta dan air mata
Begitulah sesungguhnya aku ingin bersaksi dari Meulaboh
menyerahkan seluruh hidup sampai ke pelosok jiwa
meski belum apa-apa di antara garis awan
memanjang di langit, juga jejak-jejak rasa saat bergerak
antara Lhok Bubon menuju Meulaboh;
"Besok kita akan minum kopi di Keude Meulaboh atau saya akan mati di Perang Suci.”
Kalau kini ragaku terbaring di Gunong Glee Rayeuk Tameeh
sesungguhnya sedang kutanam cita
dan belajar cinta negeri Aceh.
Parepare, 2021
Di antara beberapa jalan yang tak jelas namanya
bayangku telah menyamar menjadi pengembara
berdiri mematung di simpang jalan, senja luruh
seperti sedang mengukur imannya dari rumbai embun
aku telah berlalu berselisih jalan dengan bayangku
Entah di mana bisa kutemui kembali bayangku
di mulut-mulut jalan berongga remang menjadi cermin
lewat ujung Mappanyukki atau selatan Pettarani
seperti sejarah kota ini yang lama tenggelam
ke dasar laut hingga hanyut ke pulau Samalona
Sungguh aku seperti tak mengenal bayangku
di mana kini persisnya hanya banyak kelokan
menjauh mendekat terburu dengan ceroboh
mengabur di mata dan mungkin telah jadi buron
masih terasa Makassar masih menyimpan ragu.
Parepare, 2021
Kenangan mengurai resah di dada seperti cinta merayakan pertemuan.
Me, sudah berpuluh tahun aku setia menemani
termasuk pada musim yang berbeda, timur dan barat
bila pekikmu memanggilku selalu menyatu
bersama gemuruh ombak yang telah membangun rumah cuaca
dengan pilar-pilar tubuh angin. Dunia telah kita temukan, Me
meski hanya perempuan nelayan selalu berlari di pesisir
memunguti lokan meniti buih ombak
hidup menggenggam ketakpastian serupa jalan takdir
Me, telah kutinggalkan bersama kenangan
perempuan berkulit legam beraroma laut
cinta yang terlabuhkan dari pulau seberang
hanya membawa kata-kata
terbungkus cahaya matahari
sambil merangkul keruh buih ombak
tak ada kekalahan yang harus disesali
sebagai kabar perlu dirawat
agar tetap memiliki riwayat
Me, siapa pun tahu bahwa jarak sering dipermainkan waktu
menjadi nyeri yang dirabakan ke dada
aku menjadi air laut yang disiramkan hingga perih
Sebagaimana terpikirkan untuk beranjak dari bibir muara
tempat biasa melabuhkan gaduh cuaca di dada
mengemas bentangan jaring, menaiki tangga rumah kayu yang miring
karena tak ada lainnya untuk sebuah perjalanan panjang
doa hanyalah sebatas kemampuan untuk memohon
mungkin dapat mencegah ketakmampuan yang tak terucap
Me, hidup memang tak selamanya selalu lurus
tapi tak boleh pasrah, bahkan harus diikuti tetirah
sebab takdir tak pernah berdusta pada pasang surut gelombang
yang sering berdusta mungkin hanya pikiranmu
Apalagi yang dicemaskan, Me
kesetiaan demi kesetiaan yang pernah dirajut serumit jala
sunyi pantai dijadikan tempat belajar membaca nasib
bahkan rambutmu yang basah tak pernah berdusta pada musim
bersandar seperti perahu dari seberang hendak berlabuh
dan dermaga hanya berpenghuni anak-anak kita
berkejar-kejaran di halaman mimpi tidur malam yang nelangsa
Berpuluh tahun sudah kita nikmati badai
semakin menyepuhkan warna bola matamu
suaramu tak terasa berubah sekeras debur ombak
kekerasan hidup telah mengajari untuk bersyukur
tak membiarkan waktu meretakan seluruh tubuh
hingga merapuh. Sebab selalu setia merangkai
bagian-bagian untuk menyambung kehidupan
bertautan merajut sehari selembar benang
sebulan sehelai kain menjadi bentuk tawakal
Masih saja kau pasang bubu malam ini di dekat rerimbun bakau
memintas ombak-ombak kecil
bayangmu nampak rapuh dimainkan cahaya lampu perahu nelayan
keluhnya tertahan asin air memainkan rasa perih di telapak kaki
gerimis malam telah memadam bara di dada
untuk sementara
Me, bila kau kini telah pergi jauh. Bahkan jauh sekali
melintasi entah berapa samudera menuju gugusan pulau abadi
di pekuburan berpasir ini aroma wangi tubuhmu masih terasa
untukku dan anak-anakmu yang setia merawat cinta
bukankah cinta dan kematian masih bersaudara?
bahkan sangat akrab serupa cahaya jatuh di laut
hanyut dalam pelukan gelombang
Aku masih setia di sini memunguti daun-daun kering
yang mulai melumut di gundukan tanah dekat nisanmu
mencari keheningan mewarnai langit bergaris awan
sambil terus melafalkan ayat-ayat
untuk selimut tidur panjangmu
Bukan tak mungkin, hari-hariku yang tersandera gelisah
adalah khusyuk mempertemukan denganmu esok
sebuah penyerahan untuk segera pulang, Me
dan hanya kau yang tahu bahasa cinta
meski tak sesederhana menafsir syair kematian.
Parepare, 2021
¹Me: panggilan seorang perempuan bernama Mesaroch
Sore menjadi begitu akrab dengan cahaya
menerobos di tingkap atas jendela
kutuangkan segelas wine¹, mari tuan
biarkan raga ini hanyut di kehangatan
hingga sampai kota tuan, Rotterdam, esok pagi
lalu menyantap rijsttafel² pada lapar yang ranggas
Aku masih duduk mencangkung menghadap dinding
terasa auramu, tuan Speelman, menguar di ruangan
bahkan menulis di dinding lembab tentang bunga pala
wangi cengkih, bahkan lada beratus karung membayangi
darah tumpah dengan mudah sebab sejengkal tanah
lalu kau tuliskan tanyaku:
“Mana sahabatmu Arung Palakka dan Kapiten Jonker?”
Jawabmu hanya menuliskan satu kata: Tidore
aku seperti mencium aroma cengkih di tanganmu
dan sisa anyir darah dari palka kapal pribumi
yang kau bakar dengan desis peluru berudara mesiu
Minumlah segera, tuan, sore akan menghabisi cahaya
merampas jalur-jalur di laut yang telah kau susuri
mengamati sisa kesenyapan tanpa rasa aroma rempah
tuan, Tidore lelah tertidur berseprai kusut
aku telentang di pantai Tugulufa dan tuan
masih ingin melepaskan peluru ke dadaku.
Makassar, 2021
¹Wine: anggur
²Rijsttafel: meja nasi
Semenjak engkau bercerita tentang desa yang jauh
di gigir bukit dengan embun mengusap getar angin
dari arah selatan lewat jalan setapak, lereng terjal
selalu kurindu membaca ingatan
menelusuri jejak yang tak tercatat
rerimbun pohon-pohon tua menyapa akrab
lembabnya menyusup di mata
bau tanah menjadi penjaga di petak jantung
yang terus menjejak mengurai musim
nafas tak henti merajut udara semesta
Ada peradaban yang tak hilang di desa ini
bahkan dilahirkan dari garis-garis aksara
membentangkan simbol-simbol kearifan
di selembar kain yang bergambar tanduk rusa
Burung-burung masih setia bermain cuaca
membaca tanda-tanda setiap yang asing
entah berapa hasrat ingin merawat
meski nasib memiliki batasnya
Bahasa ibu selalu dirindu dari pawon rumah
bijak tuturnya seharum bau rempah dari kuali
mengusik setiap cinta yang mengetuk pintu
seperti doa sebelum memukul bedug di surau
Engkau menceritakan tentang bahasa kerinduan
aku diam menangis mengaharu di seluruh dada
merambat di udara lengang seluasan desa
sedang tanah selalu bergetar menyambut kisah
mencium bau daun bambu tempat dulu berseru
memukul kentongan atau kaleng biskuit
berulangkali membisingkan sunyi pelataran
dengan balai-balai yang basah berembun
Setidaknya ingin kembali sebelum kenangan luruh
padahal telah tersimpan di ingatan
petuah ibu sebelum tidur; cuci kaki di air gentong
jangan duduki bantal atau potong kuku malam hari
semuanya menjadi diri sendiri yang tak pernah cemas
Inilah jagat sederhana yang diciptakan
sebelum masuk lebih dalam mengenal diri
tak perlu menghela napas panjang, apalagi keluh
sebab waktu telah memberikan arti penuh isyarat
lalu menjadi hikayat merindu kisah
Di desa kenangan telah mengurai resah di dada
seperti cinta merayakan pertemuan.
Purbalingga-Parepare, 2021
Ada yang membisikan suara nyeri
di antara cadas-cadas bebatuan kapur. Membentang
di pinggang gunung Bulusaraung
tangan air dengan jari-jemari lentik gemerecik
menelusuri dasar gua dari proses
pengendapan laut purba
menetes air kehidupan dari ujung keruncingan stalaktit
seperti ingin mengabarkan pada dunia tentang senja
Pada siapa suara itu harus tersampaikan, bukan sunyi
atau seekor anoa tua yang melesat di jalan ingatan
padahal tangan-tangan sudah meraba
bukit Bulu Matojeng juga sebagian angslup
ke dasar gua Leang-Leang
mengulurkan bayangan di dinding-dinding gua
puluhan telapak tangan melambai berpuluh ribu tahun lalu
di lantai berundak-undak
terkabarkan peradaban manusia
serupa jalan takdir membuka lembaran prasejarah
Angin yang mengarus seperti mendekat
pada kepunahan yang dillit di kaki cadas bumi
masih terdengar lirih nyeri memahami ketiadaan
padahal kehidupan tak sekadar menghancurkan
atau berlindung di balik rahasia semesta
tanah akan menjadi kubur yang sama
selalu patuh pada kehendak waktu
Suara itu seperti mengantar siapa saja untuk menemui
terjal perbukitan karst dalam bayang-bayang luka
ancaman silih berganti
berkelindan dari deru mesin
mengulurkan tangan besi
mengikis sisi perbukitan
mencemaskan rumbai-rumbai kabut di pagi hari
terkubur di lubang-lubang tambang
sejumlah artefak sisa peradaban membisu
di dalam gua paling sunyi.
Maros-Parepare, 2021
Baca juga: Sajak-sajak Acep Zamzam Noor
Baca juga: Kabar Burung Mengendap di Meja Makan Kita
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Tri Astoto Kodarie, penyair dan guru, lahir di Jakarta, 29 Maret 1961. Menerima anugerah seni bidang sastra dari Dewan Kesenian Sulawesi Selatan pada 2000. Buku puisinya yang telah terbit, yaitu Nyanyian Ibunda (Artist, 1992) Sukma Yang Berlayar (KSA, 1995), Hujan Meminang Badai (Akar Indonesia Yogyakarta, 2007), Merajut Waktu Menuai Harapan (Frame Publishing Yogyakarta, 2008), Aku, Kau, dan Rembulan (De La Macca, Makassar 2015), Merangkai Kata Menjadi Api (Akar Indonesia Yogyakarta, 2017), Kitab Laut (YBUM Publishing Parepare, 2018), Tarian Pembawa Angin (YBUM Publishing Parepare, 2020), Tembang Nelayan Dini Hari (Satria Publisher Banyumas, 2021), dan Tak Ada Kabar Dari Kotamu (Satria Publisher Banyumas, 2021). Karya-karya juga termuat dalam puluhan antologi puisi bersama di berbagai kota di Tanah Air. Kini, tinggal dan bekerja di Parepare, Sulawesi Selatan. Ilustrasi: Pingkan Patricia. (SK-1)
Kompetisi membaca puisi berbahasa Mandarin merupakan upaya mendukung program pemerintah dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.
LEBIH dari 1.800 pejalar dari seluruh Indonesia mengikuti lomba membaca puisi berbahasa mandarin tingkat nasional.
Rasakan emosi puisi! Pelajari citraan, kunci penyampaian perasaan mendalam melalui kekuatan kata yang memukau.
Acha Septriasa mengatakan puisi WS Rendra yang berjudul Hidup Itu Seperti Uap membantunya mendapatkan inspirasi dalam menjalani salah satu adegan di film Qodrat 2
Jelajahi puisi abadi Sapardi Djoko Damono! Temukan karya terkenal dan warisan sang penyair legendaris Indonesia.
Selami keindahan alam lewat puisi! Temukan pesan tersembunyi di balik rimbunnya hutan, birunya laut, dan gemerisik angin. Inspirasi dan refleksi menanti!
Temukan kata kata estetik penuh makna! Koleksi ungkapan indah, puitis, dan inspiratif untuk jiwa yang mendalam.
Bangun cerita inspiratif! Pelajari struktur narasi yang menggugah, raih hati pembaca, dan sebarkan pesan bermakna melalui alur cerita yang kuat.
Gadis Kretek: Novel Indonesia memikat! Selami kisah cinta, ambisi, dan warisan kretek yang kaya. Baca ulasan lengkapnya sekarang!
Temukan puisi pendek sekolah penuh cinta pendidikan. Ungkapkan rasa, kenangan, dan semangat belajar melalui kata-kata indah.
Alam bercerita! Temukan kisah inspiratif tentang lingkungan, pelajari harmoni alam, dan temukan kekuatan perubahan di sekitarmu.
Temukan novel terbaru 2024! Rekomendasi bacaan menarik dengan cerita unik, karakter kuat, dan petualangan tak terlupakan. Jangan lewatkan!
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved