Headline
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Ilustrasi: MI/Tiyok
Ijen telah menusuk langit!
Rumah Osing yang akbar.
Turis-turis turun datang.
Kemiren bercahaya.
Orang-orang yang kesepian.
Kamu berbaring tenang dengan lambung bergetar.
Aku nikmati kepulan asap dari cangkir kopi memenuhi langit.
Banyuwangi masih diserang dingin.
Januari, 2022
Selamat datang, Tuan.
Desember masih kedinginan di bawah tangga rumah.
Silakan masuk! Jangan buka sepatumu,
biarkan kami menghidu bau lelah dari kakimu
yang tidak henti-hentinya mengutuk dan menyumpah.
Bapak telah berangkat ke kebun kopi.
Tempat ia kembali beranak dan beristri.
Berhari-hari ia pergi tanpa menyisai uang di selip-selip dinding.
Tapi tetap akan kami hidangkan secangkir kopi hangat tanpa gula:
menghitam pekat gigimu.
Selamat datang, Tuan.
Ibu sebentar lagi pulang, akan ia bawa nyanyian tipis para petani.
Mengenang sejarah yang ingin kau dengar.
“Sampai kapanpun, kami akan berteman tanah.
Marwah dan petuah.
Tidak dijual!”
Berikutnya, Tuan bisa pulang dan jangan kembali.
Januari, 2022
Mak, kenapa kita menenggak daun
Meranggas dan diperas hidup.
Sedang kopi masih berbuah di kebun Apak.
Januari, 2022
Biji kopi itu jatuh dari saku perjalanan Tuhan menuju surga.
I
Anak itu lahir dari biji kopi
Bagaimana ia tidak berkulit dingin
dan menghembuskan kabut pahit.
Ia anak Gayo. 1200-1700 di atas telapak Samudera Hindia.
Berayah pada puluhan petani. Bersanding cita lidah khas.
Biji kopi itu jatuh dari saku perjalanan Tuhan menuju surga.
Jatuh ke tangan pribumi yang semalaman bermimpi
meraup rezeki dengan menggali kembali tanah titipan akar sejarah sendiri.
Ia tumbuh dan berbunga.
Merah serta molek: seperti seorang gadis.
Orang-orang dari lautan seberang
Datang bersama haus di tenggorokan.
Cerita tentang anak itu telah mengetuk pintu-pintu kedai di mana saja.
Oh Gayo, tempat kopi lahir dan dipinang orang.
Di sini, telah dibabat habis semak belukar.
Kopi tumbuh melulu berbuah.
Petani menjemurnya hingga matang
Menyeruak wangi ke segala arah
Menyudahi lapar anak istri.
Ia diantar ke kota-kota jauh.
Ke tanah-tanah lain.
Meninggalkan rumah.
Bagaimana ia tidak berkulit legam dan beraroma rempah,
sedang ia lahir dari ketinggian Gayo.
II
Telah sampai kami pada leher bukit.
Delapan teguk kopi hitam terjun bebas di kedalaman perut.
Kabut tipis mendirikan tenda putih di pucuk rambut.
Langit malu-malu. Jaket tebal yang sehari lalu ditempa mata-mata hari,
kini telah menghujani setapak. Keringat hilang rasa.
Kami pulang menjengukmu, saudara.
Warisan nenek moyang yang mengerti bahasa hati.
Datang bersama sekarung sisa sayur di dapur dan tahi kerbau.
Menyuburkan tulang belikat yang kokoh
Terus duduk bersila di miring tebing.
“Kau kian purna
Berkain panjang dan memakai wangi-wangian
Angin selatan meminangmu.
Mendampingi air mata bumi.
Disaksikan tanah dan sengat matahari.”
Semakin tinggi.
Lenganmu menjalar ke mana-mana
Mata merah menyala.
Telah sampai kami pada leher bukit.
Lagi-lagi dengan salam
Berikut lelah dan sakit pinggang.
Berhari-hari. Kerja dengan peluh berwarna gelap.
Sepenuh niat membayar utang
Sekolah anak dan tabungan kaleng tua.
Seringkali hargamu jatuh dipasarkan
Mencekik leher kami. Dada menyesak.
Hingga dapur di rumah tidak kunjung berasap.
Tapi kami tetap memilih jadi petani.
III
Hidup petani dan biji kopi adalah catatan silam
Yang tersadai dari rentetan kisah seorang penjelajah.
Menemukan surga setengah mata:
Setelah penjajah hengkang.
Inilah Gayo
Tempat kopi lahir dari janji hutan
Yang mengikat sumpah: selalu subur dan terjaga.
Namun, akhir-akhir ini
Bisik tajam dari gergaji mesin mulai mendekat ke tepi telinga.
Hutan mulai hilang akal.
Kabut asap mengepung paru-paru orang kampung.
Sesak! Dada bidang pohon-pohon terbakar.
Sebentar lagi merebah ke rumah kopi.
IV
Ah, bagaimana kami dapat dan mengering.
Kami kopi Gayo.
Bau muasal tak lagi menusuk hidung
Hari-hari penuh kantuk.
Bila begini, masihkah kami sedarah petani?
Januari, 2022
1. Gajah Sumatra
Kami besar, jauh di ujung selatan Sumatra.
Dengan dingin dan kubangan.
Hanya butuh ampat jam untuk tidur.
Kami akan melanglang buana selama malam hari,
dan kala para mahout tengah terlelap di posko.
60 kawasan akan mengirimkan pesan
tentang kedatangan badai kepada kebun dan ladang.
Kami akan mendengar bisik angin malam
yang perkasa, turun dari kaki bukit di utara.
Acapkali auman Harimau Sumatra terdengar,
anak-anak kami ketakutan.
Tapi, kamilah petualangan yang gentar pulang
sebelum matahari terbit di pulau seberang.
2. Kopi Lampung
Sebagai petani yang selalu lupa untuk makan siang,
kebun kopi sudah harus digarap:
Batang-batang telah kekar.
Bunga-bunganya mekar. Sedang hari telah tinggi.
Aroma kopi panas telah menggoda
dari gubuk di seberang kebun.
Ah!
3. Krakatau
Di tulang belakang Sumatra
Kaki selat Sunda yang akbar.
Senja karam di perutku yang meletus!
Januari, 2022
Baca juga: Sajak-sajak Tegar Ryadi
Baca juga: Sajak-sajak Maharani Ningrum
Baca juga: Sajak Kofe, Warung Puisi Pascakontemporer Indonesia
Muhammad Ade Putra, menulis puisi dan prosa, asal Kampar, Riau. Ia adalah peraih juara ke-1 Lomba Cipta Puisi dalam rangka Festival PeSoNa Kopi Agroforestry 2022 yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI bekerjasama dengan Media Indonesia. Kini, tercatat sebagai mahasiswa Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (SK-1)
Eleven Tree Coffee x Bakso Bom Mas Erwin ini memberikan keunikan tersendiri, baik dari produk maupun suasananya
Saat dunia tidak menjadi teman baik, rupanya alam luas maha menenangkan.
Jangan pernah menghakimi si pahit, tak kan sekalipun ia menyakiti kamu.
Sajak-sajak Rina Iksanti - Filosofi kopi mengajarkan hitam tak selalu kotor dan pahit tak selamanya duka.
Sekejap bibir mengucap rayu, runtuh segala kekerasan duniawi.
Secangkir kopi di meja telah menghidupi jiwa-jiwa sepi.
Pendidikan tinggi tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) atau menghasilkan riset. Tapi juga membentuk manusia yang berintegritas dan berkarakter tinggi.
TAHUN ini, BPK Penabur mengadakan Penabur Kids Festival dengan 17 macam lomba yang bisa diikuti oleh siswa jenjang TK hingga SLTA di seluruh Indonesia.
Banyak peserta balita yang didampingi orang tuanya, dan sebagian berusia di bawah tiga tahun.
Cikande Permai kini terpilih menjadi kandidat untuk mewakili Kecamatan Cikande di ajang Lomba Kampung Bersih tingkat Kabupaten Serang.
Acara ini bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat budaya K3 di kalangan industri.
Terdapat sekitar 50 juta perempuan di bawah usia 40 tahun yang berperan sebagai kepala rumah tangga, sehingga menuntut mereka untuk mandiri dan bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved