Headline

Banyak pihak menyoroti dana program MBG yang masuk alokasi anggaran pendidikan 2026.

Pemda Didorong Kreatif dan Inovatif untuk Tingkatkan PAD

M Ilham Ramadhan Avisena
20/8/2025 13:20
Pemda Didorong Kreatif dan Inovatif untuk Tingkatkan PAD
Aksi ribuan warga di depan pendopo Kabupaten Pati, untuk menuntut Bupati Pati Sudewo agar mengundurkan diri dari jabatannya, di Pati, Jawa Tengah, Rabu (13/8/2025).(ANTARA/Akhmad Nazaruddin Lathif )

Pemerintah daerah didorong untuk kreatif dan inovatif dalam melakukan agenda pembangunan di wilayahnya, itu termasuk pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tujuannya ialah agar ketergantungan terhadap transfer ke daerah (TKD) yang bersumber dari APBN dapat ditekan. 

Dengan cara yang kreatif dan inovatif dalam mencari pembiayaan, pemda dinilai tak akan kesulitan untuk mendongkrak PAD-nya. "Kami sebetulnya mendorong kerja sama dengan pihak ketiga, baik itu dengan public-private partnership (PPP) misalnya, atau dengan kerja sama antara daerah, kerja sama antara daerah dengan pihak ketiga," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman saat dihubungi, Rabu (20/8).

Selain itu, pemda juga diminta mampu untuk memberikan insentif terhadap investasi yang masuk di wilayahnya. Terlebih saat ini mayoritas PAD bersumber pada pajak dan retribusi yang bertumpu pada sektor jasa. 

Insentif terhadap investasi, kata Herman, dapat memantik geliat perekonomian daerah, utamanya di sektor jasa. Itu dapat diimplementasikan melalui pengembangan sektor pariwisata dengan membangun hotel, restoran, dan lainnya yang berkaitan langsung. 

Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah di sejumlah daerah yang menaikan tarif PBB P2. Kebijakan itu berujung penolakan warga. Di Pati dan Bone, misalnya, penolakan mengalir hingga terjadi kerusuhan. 

Herman menilai, itu sejatinya turut mencerminkan pemda yang kurang komunikatif dan tak memberikan penjelasan yang terang kepada warga. Alhasil, upaya untuk meningkatkan PAD tersebut justru menjadi bumerang. 

Padahal penaikan tarif PBB P2 sejatinya juga telah tertuang dalam UU 1/2022 tentang Harmonisasi Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). UU tersebut memuat batas pengenaan dasar yang semula 0,3% menjadi 0,5%. Itu memberikan ruang bagi pemda untuk membuat kenaikan tarif PBB P2. 

Karenanya, resistensi masyarakat boleh jadi bukan disebabkan oleh kenaikan tarif, melainkan komunikasi dan sosialisasi yang tak dioptimalkan oleh pemda. 

"Sebetulnya resistensi, polemik itu seharusnya itu terjadi di tahap proses pembahasan, bukan setelah disetapkan. Kami mendorong tidak pada pengaturan terkait dengan tarif, tetapi pada pembenahan di level administrasi pemungutannya," kata Herman.

"Artinya yang sekarang daerah itu perlu berinovasi adalah bagaimana mengoptimalkan potensi pajak dan retribusi daerah itu dengan pembenahan di sistem pemungutan dan juga database pemungutannya. Itu yang kami dorong sekarang," pungkasnya. (Mir/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya