Headline
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
Sedikitnya 30% penggilingan gabah di Jawa Tengah menutup operasional.
LANGKAH pemerintah dengan tetap membiarkan wakil menteri (wamen) rangkap jabatan sebaai komisaris badan usaha milik negara (BUMN) merupakan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Kebijakan tersebut dapat berbuntuk panjang jika terus dibiarkan.
Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan, penegasan terbaru yang dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK) lewat Putusan Nomor 21/2025 pekan lalu harusnya cukup membuat pemerintah menarik para wamen dari kursi komisaris perusahaan pelat merah.
Ia menjelaskan, putusan MK tersebut menggarisbawahi bahwa larangan rangkap jabatan bagi menteri juga berlaku bagi wamen. Secara konsep, Feri mengatakan bahwa wamen adalah orang-orang profesional yang tidak dapat bekerja secara multitaksing atau mengerjakan lebih dari satu peran sekaligus.
"Tapi harus fokus membantu menteri menyukseskan program-program kementerian. Dengan ditegaskannya oleh putusan MK, mau tidak mau, (para wamen harus) diberhentikan (dari jabatan BUMN)," terang Feri kepada Media Indonesia, Senin (21/7).
Feri mengatakan, membiarkan wamen rangkap jabatan di BUMN sama saja dengan melanggar putusan peradilan. Padahal, dalam konsep hukum administrasi, kebijakan atau tindakan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan undang-undang maupun putusan pengadilan.
"Kalau tidak dilakukan (penarikan wamen dari BUMN), mestinya akan ada yang menggugat di PTUN (pengadilan tata usaha negara) untuk diberhentikan," jelas Feri. (Tri/P-3)
Tim dari Kemendagri, lanjutnya, melakukan pengecekan dan survei ke lapangan sebagai upaya penyelesaian sengketa. Menurutnya itu sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan MK soal kewenangan Bawaslu memutus pelanggaran administrasi Pilkada, pembentuk UU dapat segera merevisi UU Pilkada.
Putusan MK Nomor 104/PUU-XXIII/2025 selanjutnya akan dibahas lebih lanjut. Ia mengatakan perlu regulasi yang detail untuk menjalankan putusan MK tersebut.
Titi Anggraini mengatakan putusan tersebut telah menegaskan tidak lagi terdapat perbedaan antara rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Semua pihak harus berhati-hati dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.135 tahun 2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Titi menekankan DPR harus segera membahas RUU Pemilu sebab putusan MK tidak bisa menjadi obat bagi semua persoalan pemilu saat ini.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang gugatan UU BUMN dengan agenda mendengarkan keterangan para ahli.
Terdapat 30 wamen yang saat ini merangkap jabatan menjadi komisaris di BUMN.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved