Headline

Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.

Fokus

Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.

Pakar Hukum: Penerapan Aturan Justice Collaborator Bebas Bersyarat Harus Jelas dan Khusus

Devi Harahap
22/6/2025 20:09
Pakar Hukum: Penerapan Aturan Justice Collaborator Bebas Bersyarat Harus Jelas dan Khusus
Pakar hukum perdata dan pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar(ANTARA/Agatha Olivia Victoria.)

PAKAR hukum perdata dan pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengapresiasi pemerintah yang telah mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No.24 tahun 2025 tentang penanganan khusus dan pemberian penghargaan kepada saksi terdakwa (justice collaborator).  

“Aturan justice collaborator bertujuan baik bagi peradilan karena membantu mengungkap kejahatan, termasuk tindak pidana terorganisir seperti korupsi, dan mempermudah pembuktian serta penuntutan,” katanya kepada Media Indonesia pada Minggu (22/6).

PP baru tersebut menegaskan bahwa tersangka, terdakwa atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum (Justice collaborator), bisa mendapatkan keringanan dan pembebasan bersyarakat jika membantu mengungkap tindak pidana dalam kasus yang sama dengan syarat tertentu.

Fickar menjelaskan bahwa penerapan justice collaborator harus dilakukan dengan metode yang jelas dan hanya berlaku pada kasus khusus seperti tindak pidana dengan kerugian yang besar. Dalam kasus korupsi, seseorang bisa menjadi Justice collaborator jika dapat mengungkap pelaku inti dan mengembalikan hasil tindak pidana.

“Terdakwa yang bisa menjadi Justice Collaborator atau terdakwa yang bekerjasama itu, pada substansinya untuk menangkap ikan besar (the big fish) dari suatu kejahatan. Jadi bukan sekedar kerja sama memberikan kesaksian menangkap pelaku lain tetapi tidak mempunyai peran yang berarti,” jelasnya. 

Artinya, lanjut Fickar, justice collaborator akan lebih efektif diterapkan pada kasus-kasus kejahatan besar atau extra ordinary crime seperti korupsi dan terorisme atau kejahatan lain yang membahayakan negara. 

Kendati demikian, Fickar menekankan bahwa Presiden sebagai kepala negara memang memiliki hak prerogatif untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Namun, dalam hal menjatuhkan hukuman, presiden tidak memiliki kewenangan tersebut karena itu adalah ranah lembaga yudikatif (pengadilan). 

“JC dalam konteks penjatuhan hukuman itu ranahnya peradilan, jadi Presiden sebagai kepala eksekutif tidak bisa mencampuri ranahnya peradilan, presiden tidak bisa mengintervensi,” tukasnya. 

Selain itu, Fickar menilai bahwa aturan Justice collaborator seharusnya cukup diatur dan diperbaharui melalui UU tentang Perlindungan saksi pelaku dan/korban. Sebab menurutnya, jika peraturan tersebut berada pada tingkat PP, akan terkesan menjadi politis. 

“Presiden tidak seharusnya mencampuri urusan kehakiman, jadi tidak tepat jika Presiden mengeluarkan PP yang tingkatannya dibawah UU untuk mengatur peradilan sebagai kekuasaan kehakiman yang bebas dan mandiri,” pungkasnya. 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Indrastuti
Berita Lainnya