Headline

Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.

Fokus

Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.

Konsep NCB dalam RUU Perampasan Aset tidak Bertentangan dengan Hak Konstitusional Warga

Devi Harahap
26/5/2025 14:10
Konsep NCB dalam RUU Perampasan Aset tidak Bertentangan dengan Hak Konstitusional Warga
Ilustrasi.(MI)

KETUA Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman Samarinda, Orin Gusta Andini menilai, pernyataan Anggota Baleg DPR RI Ahmad Irawan terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang dapat merampas aset milik warga negara tanpa melalui proses pembuktian di pengadilan, adalah keliru dan tidak berlandaskan hukum. 

“Tidak seperti itu, tentu melalui proses pembuktian, hanya memang proses pembuktiannya itu menggunakan model pembalikan beban pembuktian. Negara melalui JPN (Jaksa Pengacara Negara) dapat merampas aset ketika diduga kuat berasal dari tindak pidana/aset yang tidak diketahui pemiliknya,” ungkap Orin saat dikonfirmasi Media Indonesia pada Senin (26/5). 

Tak Merugikan?

Orin mengatakan konsep RUU tidak akan merampas dan bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) serta hak konstitusional warganegara. Selain itu, pihak yang merasa dirugikan atas proses pembuktian tersebut juga dapat mengajukan pembuktian kembali.

“Kemudian nanti akan diumumkan, lalu pihak yang merasa keberatan dapat melakukan upaya dengan membuktikan di pengadilan bahwa aset itu bukan berasal dari tindak pidana,” katanya. 

Beri Solusi?

Orin menjelaskan bahwa RUU Perampasan Aset menawarkan solusi substantif dengan memperkenalkan konsep non conviction based asset forfeiture atau NCB yang memungkinkan pemulihan aset negara dengan standar balance of probabilities yang merupakan penggunaan pembuktian dalam perkara perdata.

“Jadi karena ini dinamakan sistem pembalikan beban pembuktian atau NCB-AF (non conviction based asset forfeiture), JPN hanya tidak perlu membuktikan tindak pidananya terlebih dahulu, yang digunakan adalah pembuktian dengan standar balance of probabilities yang merupakan penggunaan pembuktian dalam perkara perdata,” jelas Orin.

Pesan Pesimistik?

Akademisi hukum pidana itu menegaskan bahwa DPR sebagai pembuat legislasi tidak seharusnya mengungkapkan spekulasi dan pesan-pesan pesimistik sebelum ada upaya untuk membahas substansi RUU secara komprehensif. 

“Kalau yang dimaksud berpotensi melanggar hak kepemilikan atau HAM, itu juga bisa diatur dalam pesan-pesannya. Seharusnya dilakukan pembahasan RUU nya, Ini RUU belum pernah dibahas tapi sudah banyak spekulasi dan kekhawatiran,” tegasnya. 

Bahas Substansi?

Selain itu, Orin juga mendorong agar DPR dan Pemerintah segera membahas substansi RUU Perampasan Aset lebih mendalam, terutama terkait konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) yang masih baru bagi Indonesia. 

“Kalau RUU itu dibahas dengan melibatkan expert, pemerintah justru akan mendapatkan banyak masukan atau scientific evidence dan model NCB di negara lain,” tukasnya. 

Hak Konstitusional?

Menurut Orin, pembahasan ini penting agar RUU tersebut tidak melanggar hak konstitusional warga negara dan dapat diterapkan secara efektif dan efisien dalam penegakan hukum, sebab konsep tersebut telah banyak diadopsi oleh negara-negara yang menjunjung tinggi HAM. 

“Negara-negara yang menerapkan NCB itu justru negara yang menjunjung tinggi HAM seperti Inggris dan Australia maka dari itu korupsinya diberantas dengan segala cara termasuk menggunakan mekanisme NCB,” (Dev/P-3) 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Cahya Mulyana
Berita Lainnya