Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penghapusan Presidential Threshold Tak Membuat Politik Nasional Terfragmentasi

Devi Harahap
11/1/2025 14:08
Penghapusan Presidential Threshold Tak Membuat Politik Nasional Terfragmentasi
Gedung Mahkamah Konstitusi .(Antara/Indrianto Eko Suwarso)

GURU Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aidul Fitriciada Azhari mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas minimal pencalonan presiden (presidential threshold) akan membawa implikasi besar.

Menurut Aidul, secara normatif partai kecil kini dapat mencalonkan kandidatnya tanpa harus bergabung dengan partai besar, namun ia menilai realitanya tidak sesederhana itu.

“Secara teori, partai kecil bisa mencalonkan. Tapi biaya politik untuk pemilu presiden sangat besar, mencapai ratusan triliun. Tidak mungkin partai kecil mampu menanggungnya sendiri,” kata Aidul dalam keterangannya pada Sabtu (11/1).

Lebih lanjut, Aidul mengingatkan bahwa keputusan MK bukanlah tanpa risiko. Menurutnya, salah satu kekhawatiran terbesar adalah potensi munculnya kandidat-kandidat tanpa kualitas dan kecakapan.

“Dengan dihapusnya threshold, semua partai termasuk yang kecil punya peluang mencalonkan kandidat. Tapi apakah itu berarti lebih banyak kandidat berkualitas? Belum tentu. Kita harus melihat bagaimana sistem ini diimplementasikan,” ujarnya.

Meski banyak yang menyambut antusias penghapusan presidential threshold, tak sedikit pula masyarakat yang khawatir akan potensi terjadinya fragmentasi politik. Namun Aidul berpendapat hal tersebut tak akan terjadi.

“Indonesia tidak pernah mengalami fragmentasi politik secara ideologis. Kita sudah selesai untuk urusan itu. Hampir semua partai itu tidak punya fragmentasi ideologis terlalu ketat,” jelas Mantan Ketua Komisi Yudisial RI.

Sebagai contoh, Aidul memberikan gambaran sikap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang seharusnya menjadi partai nasionalis sekuler, tetap ingin dianggap religius pada beberapa praktik.

Hal serupa kata Aidul, juga terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dikenal sebagai partai Islamis tetapi pada beberapa perhelatan pemilu mencoba menunjukkan sisi nasionalisnya.

“Tidak seperti di Turki, misalnya, di mana garis antara partai sekuler dan Islamis sangat jelas. Di Indonesia semuanya cair. Ini yang membuat fragmentasi politik ideologis tidak menjadi ancaman besar,” tuturnya.

Selain itu, Aidul menjelaskan keputusan MK tersebut tak melulu soal merombak aturan main politik di Indonesia, namun juga membuka peluang untuk memecah dominasi partai besar yang selama ini mengontrol koalisi dan pencalonan presiden.

“Penghapusan presidential threshold menuntut kita untuk mengevaluasi kembali struktur koalisi partai yang selama ini terbangun. Koalisi yang lebih didorong oleh pragmatisme politik, harus digantikan dengan koalisi yang berlandaskan ideologi dan visi untuk membangun negara,” ucapnya.

Menurutnya, dengan kemungkinan bertambahnya jumlah pasangan calon, partai politik harus fokus pada kaderisasi yang berkualitas agar menghasilkan calon pemimpin yang mumpuni.

“Pemerintah harus pula mencanangkan kebijakan yang mendukung proses pemilu inklusif, sementara masyarakat diharapkan semakin kritis dalam menentukan pilihan pemimpin demi masa depan bangsa,” tandasnya. (J-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eksa
Berita Lainnya