Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti.
Supratman juga mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.
“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum (Kemenkum) Jakarta, hari ini.
Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.
“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujar Supratman.
Menkum mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, namun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.
Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kekuasaan presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.
“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” kata dia.
Selain presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.
“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.(Ant/P-2)
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas pada April lalu yang mengatakan amnesti tidak akan diberlakukan bagi pelaku korupsi.
Beleid itu juga bisa memberikan efek jera kepada pihak-pihak yang menyusahkan penyidik sampai jaksa, dalam menangani perkara.
Presiden Prabowo Subianto mengatakan munculnya isu dan tagar Indonesia Gelap adalah rekayasa koruptor.
Tren tutup muka ini masih menunjukkan bahwa korupsi menjadi aib bagi para tersangka.
Ia mengaku menerima laporan bahwa masih ada hakim yang belum memiliki rumah dinas. Hakim tersebut masih mengontrak.
Memberantas mafia peradilan tak cukup dengan melakukan mutasi besar-besaran terhadap hakim seperti yang dilakukan Mahkamah Agung (MA).
GURU Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menyoroti pernyataan Mahfud MD soal polemik memaafkan koruptor
Presiden Prabowo Subianto harus mengambil kebijakan terbaik bagi rakyat dan bangsa Indonesia dalam pemeberantasan korupsi.
PRESIDEN Prabowo Subianto meluruskan pernyataanya yang ingin memaafkan koruptor. Prabowo menegaskan dirinya hanya memberikan kesempatan para koruptor untuk bertaubat.
Ide pengampunan koruptor asal mengembalikan hasil rasuah memerlukan revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Strategi pengampunan koruptor berkedok amnesti tersebut memperlihatkan wajah Rezim yang sesungguhnya yang memang hendak memberikan perlakuan istimewa bagi para koruptor.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved