Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pengamat: Kepolisian Harus Buat Skala Prioritas untuk Ubah Persepsi ‘No Viral, No Justice’

Devi Harahap
20/12/2024 09:49
Pengamat: Kepolisian Harus Buat Skala Prioritas untuk Ubah Persepsi ‘No Viral, No Justice’
PENGAMAT Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto.(Dok. Antara)

PENGAMAT Kepolisian di Institute for Security and Strategic Studies, Bambang Rukminto mengatakan kepolisian harus membuat skala prioritas dalam merespons berbagai aduan kasus kejahatan yang terjadi. Hal itu dinilai sebagai bentuk responsif agar tak hanya menangani kasus setelah terjadi tekanan massa di media sosial alias viral, hingga muncul tagline No Viral No Justice.

“Dengan posisi korban yang lemah, sementara pelaku memiliki posisi yang dominan, patut diduga memang polisi baru bekerja karena lebih dulu ada tekanan viral,” ujarnya dalam keterangan resmi pada Jumat (20/12).

Bambang menganggap bahwa adanya viralitas kasus sebagai sebuah bentuk pengawasan masyarakat yang efektif terhadap kinerja kepolisian, namun jika hal tersebut terus menjadi pola aparat dalam bekerja, penegakan hukum yang humanis dan berkeadilan akan sulit dihadirkan.  

“Tetapi ada kecenderungan polisi tidak menindaklanjuti laporan yang tidak mendapat dukungan materi, kekuasaan atau seperti saat ini, kekuatan media sosial,” imbuhnya.

Menurut Bambang, No Viral No Justice terjadi karena saluran kelembagaan kepolisian, baik internal maupun eksternal dinilai masyarakat tidak berfungsi, dalam hal ini dikatakan bahwa sumber daya manusia dan sistem kepolisian tidak responsif.

“Jadi senantiasa mereka yang melapor juga akan berkelindan dengan birokrasi yang rumit, demikian juga dengan aplikasi pengaduan yang dibuat kepolisian sendiri (kurang efektif),” tuturnya.

Merespons kasus penganiayaan oleh anak bos toko roti, George Sugama Halim yang baru mendapat tindakan kepolisian usai viral, Bambang menilai bahwa Kepolisian Polres Metro Jakarta Timur dinilai tidak tanggap dalam menangani laporan sehingga terkesan lambat diselesaikan.

Bambang mengatakan bahwa upaya kepolisian yang menangani kasus secara textbook alias normatif prosedural dalam kasus penganiayaan justru dapat membahayakan posisi korban.

“Seharusnya polisi harus lebih aktif dengan mencari, mendatangi TKP misalnya, memanggil mereka yang ada di situ, jadi tidak perlu menunggu korban ini jadi lebih positif dan waktunya pun juga tidak terlalu lama sampai 12 hari lebih dulu menyurati terlapor untuk klarifikasi dan sebagainya,” kata Bambang.

Menurut Bambang, kepolisian sebagai aparat penegak hukum dan penjaga keamanan, harus bisa bekerja lebih responsif lantaran dalam menangani sebuah kejahatan.
 
“Kalau kemudian surat-suratan dengan terlapor, pelakunya keburu kabur ke luar kota seperti yang sudah terjadi pelakunya (George) ditangkap di Sukabumi,” ungkapnya.

Selain itu, fakta-fakta awal penyelidikan menurut Bambang, sebenarnya sudah bisa dikumpulkan oleh kepolisian seperti bukti luka atau hasil visum korban dan keterangan saksi. Namun sayangnya, kepolisian justru bergerak sangat lambat.

Bambang juga memberikan kritik terkait prosedur penanganan kepolisian dalam merespons suatu kasus. Menurutnya, pihak kepolisian begitu mendapatkan laporan korban seharusnya langsung mendatangi TKP lalu segera menaikkan dari status penyelidikan ke tahap penyidikan.

“Hal itu bisa dilakukan polisi hanya dengan mendapatkan cukup dua alat bukti yang sah di TKP. Lalu apa alasan tidak dilakukan penyitaan ketika korban sudah ada laporan, sudah ada kemudian saksi-saksi tentunya juga harus dipanggil di situ,” tandasnya. (Z-9)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya