Polisi harus Terbuka Jelaskan Motif di Balik Kematian Diplomat Kemlu

Mohamad Farhan Zhuhri
30/7/2025 06:27
Polisi harus Terbuka Jelaskan Motif di Balik Kematian Diplomat Kemlu
Ilustrasi(Antara)

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai penting bagi aparat untuk lebih terbuka dalam menjelaskan motif di balik aksi self harm atau dugaan bunuh diri yang kerap terjadi di tengah masyarakat.

Penjelasan terbuka itu penting untuk menanggapi kasus diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemlu) yang ditemukan meninggal dunia di dalam kamar kos beberapa waktu lalu. Ia menyebut keterbukaan motif menjadi bagian penting dari kontrol sosial dan mencegah spekulasi liar di ruang publik.

“Mungkin saja seseorang melakukan aksi mengakhiri hidupnya, karena setiap orang punya sisi gelap. Tapi itu sangat bergantung pada kemampuan mental dan spiritual masing-masing dalam mengelola dorongan tersebut,” kata Bambang saat dihubungi Media Indonesia, Selasa (29/7).

Namun, ia menyoroti bahwa pernyataan resmi dari kepolisian terkait kasus-kasus semacam itu sering kali hanya menjelaskan cara atau modus yang digunakan, tanpa membeberkan motif secara jelas. Menurutnya, hal tersebut justru memicu ketidakpercayaan publik.

“Modus memang bisa diungkap, tapi motifnya sering kali hanya disebut sebagai informasi internal keluarga, dengan dalih etis. Padahal publik juga berhak tahu, karena ini menyangkut evaluasi bersama terhadap perilaku sosial,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ia mencontohkan, motif self harm bisa saja muncul akibat kekerasan verbal, intimidasi dari pihak ketiga, atau alasan personal lainnya. Polisi seharusnya tidak membiarkan ruang publik diisi asumsi liar karena ketiadaan informasi resmi.

“Kalau motif tidak dijelaskan, masyarakat bisa berpikir macam-macam. Bisa saja muncul tudingan ada tekanan dari pihak tertentu atau alasan lain yang justru kontraproduktif terhadap citra Polri,” tegas Bambang.

Ia mendorong agar aparat lebih profesional dan komunikatif dalam menangani kasus-kasus sensitif semacam ini, tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian.

Tidak Ditemukan Pidana, Apa Ada Bukti Baru?

Sementara, Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengatakan, dirinya mengapresiasi langkah penyelidik Polda Metro Jaya yang berhasil meredam simpang siur informasi dalam kasus meninggalnya pegawai Kementerian Luar Negeri, ADP dengan mengadakan konferensi pers. Namun, ia menilai keterangan resmi yang disampaikan kepolisian belum sepenuhnya menjawab pertanyaan publik.

“Pertama, saya apresiasi kepada penyelidik Polda Metro Jaya yang segera dapat menjawab kesimpangsiuran kasus ADP,” kata Josias.

Menurutnya, kesimpulan yang dipaparkan dalam konferensi pers dengan metode Scientific Crime Investigation (SCI) menunjukkan bahwa tidak ditemukan unsur tindak pidana dalam peristiwa tersebut.

Namun, ia menyoroti bahwa penyebab kematian ADP juga tidak dijelaskan secara rinci dalam pernyataan resmi.

“Dalam kasus ADP, tidak ditemukan tindak pidana. Tapi tidak disebut juga sebab-musabab kematiannya secara spesifik. Ini artinya masih terbuka kemungkinan, bila ditemukan petunjuk atau bukti baru, maka kasus ini bisa diselidiki kembali,” tegasnya.

Ia menilai sikap terbuka ini penting agar publik tidak kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum. Menurut Josias, penyelidikan berbasis SCI adalah pendekatan ilmiah yang valid, namun tetap perlu diimbangi dengan transparansi informasi yang proporsional. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya