Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Perlu Itikad Baik dari Pemerintah dan DPR untuk Menentukan Komisioner KPU yang Berintegritas

Dinda Shabrina
11/7/2024 15:57
Perlu Itikad Baik dari Pemerintah dan DPR untuk Menentukan Komisioner KPU yang Berintegritas
Ketua KPU Hasyim Asyari didampingi jajaran komisioner KPU dan para Ketua KPU Provinsi memberikan konpers pamitan(MI/Usman Iskandar)

BERKACA dari kasus mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dinilai perlu memiliki itikad baik untuk membenahi struktur anggota KPU. Pengamat kepemiluan dan demokrasi Titi Anggraini mengatakan sejak 2012 hingga sekarang relatif tidak ada perubahan dalam proses seleksi penyelenggara pemilu.

Perbedaan itu terletak pada proses seleksi yang dinilai semakin administratif dan teknokratis. Banyak tes yang diujikan pada calon komisioner KPU, namun kenyataannya tes itu tidak mampu mencerminkan apakah calon komisioner itu betul-betul berintegritas atau tidak. Semua itu diakibatkan adanya kepentingan personal dan pragmatisme dari calon komisioner yang makin menguat.

“Semuanya akan lebih mudah jika pemerintah dan DPR sama-sama punya itikad baik untuk secara optimal menghasilkan figur yang independen dan profesional dan tidak menempatkan kepentingan partisan dalam penentuan penyelenggara pemilu terpilih. Mestinya rekam jejak dan kiprah seseorang di isu kepemiluan dan demokrasi serta profil kepemimpinannya bisa menjadi referensi dalam memilih penyelenggara pemilu,” jelas Titi kepada Media Indonesia, Kamis (11/7).

Baca juga : Junimart: Lindungi Penyelenggara Pemilu, Komisi II Tambah Anggaran

Menurut dia, hal itu sangat mudah diukur dan dinilai dan akan menjadi basis pengambilan keputusan asalkan pemerintah dan partai politik di DPR tidak cawe-cawe dalam pengisian anggota KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

“Tidak perlu beragam tes yang menempatkan seleksi KPU dan Bawaslu seperti ujian masuk perguruan tinggi. Tim seleksi mestinya bisa fokus pada rekam jejak dan latar belakang calon saja sudah bisa menggambarkan kompetensi dan riwayat integritas seseorang. Komitmen pemerintah dan partai politik di DPR lah yang paling berpengaruh dan menentukan baik atau tidaknya penyelenggara pemilu,” imbuh Titi.

Dia juga mengusulkan agar DPR tidak perlu menentukan anggota KPU terpilih. Melainkan cukup mengonfirmasi apakah tujuh calon anggota KPU dan lima calon anggota Bawaslu usulan presiden mereka setujui atau tidak setelah proses dengar pendapat di DPR.

Baca juga : Seleksi Penyelenggara Pemilu Harus Hindari Dominasi Jawa Sentris

“Kalau tidak setuju, maka nama yang tidak disetujui bisa dikembalikan untuk satu kali saja dan presiden mengirim nama pengganti,” ujar Titi.

Dengan mekanisme seperti itu, Titi berpendapat presiden dan DPR bisa mempertimbangkan nama-nama terbaik yang akan mendapatkan penilaian dari masyarakat.

Berdasarkan yang terjadi selama ini, Titi mengungkapkan DPR melakukan uji kelayakan terhadap calon anggota KPU dan Bawaslu usulan DPR dan memilih tujuh dari 14 calon KPU serta lima dari 10 calon Bawaslu. Hal itu mengakibatkan kondisi yang sangat rentan untuk mendapatkan intervensi dan transaksi kepentingan politik.

Baca juga : Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu Dinilai Minim

“Rentan intervensi dan transaksi kepentingan politik itu tentu terjadi antara calon penyelenggara pemilu dan partai di parlemen yang bisa mendegradasi integritas dan independensi anggota KPU dan Bawaslu,” ucap Titi.

Mekanisme lain yang juga diusulkan oleh Titi ialah dengan mekanisme penyeleksian untuk pengisian hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan mekanisme itu, berarti calon komisioner KPU akan diusulkan oleh presiden tiga orang, diusulkan DPR tiga orang dan diusulkan MK tiga orang. Hal itu, kata Titi, untuk memberikan keberimbangan di antara tiga cabang kekuasaan yang terlibat dalam proses pemilu.

“Seleksi penyelenggara yang lalu, sangat didominasi kepentingan politik praktis serta hegemoni kelompok dan organisasi. Hal itu bahkan mengikut secara struktural sampai ke jajaran bawah. Kalau tidak ada dukungan politik yang terafiliasi dengan parlemen dan kelompok organisasi tertentu, sehebat dan sebaik apapun seorang calon, pasti akan sulit terpilih. Akhirnya penyelenggara pemilu tersandera oleh kekuatan politik dan semangat korsa organisasi secara sempit,” jelas Titi.

Akibat dari kuatnya dominasi kepentingan politik itu, Titi menyampaikan prinsip inklusivitas dan kredibilitas seleksi penyelenggara pemilu semakin rusak. Bahkan, keterwakilan perempuan di penyelenggara bisa dieliminir oleh afiliasi politik dan organisasi.

“Akhirnya hal itu juga mempengaruhi profesionalitas dan integritas mereka dalam menyelenggarakan Pemilu 2024,” pungkasnya. (Dis/Z-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya