Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Dirty Vote, Masyarakat Harus Tahu Kondisi Demokrasi Terkini

Abdillah M. Marzuqi
12/2/2024 23:02
Dirty Vote, Masyarakat Harus Tahu Kondisi Demokrasi Terkini
Film itu mengungkap kecurangan pemilu(Dok. Tangkap layar Youtube Dirty Vote Official)

PENELITI BRIN Aisah Putri menilai film Dirty Vote punya peran penting sebagai bagian dari pendidikan politik untuk masyarakat. Menurutnya, materi yang disampaikan oleh tiga pakar hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Zaenal Arifin Mochtar dan Feri Amsari dalam film itu tentang politik kuasa dan demokrasi sesungguhnya telah banyak dibicarakan dalam ruang akademik dan seminar-seminar dalam beberapa bulan terakhir.

"Kemudian Dirty Vote merangkainya dalam kemasan film yang bisa menjangkau publik secara lebih luas," terang sosok yang akrab disapa Puput itu, Senin (12/2).

Puput menegaskan paparan dalam film itu melebihi dari sekadar politik elektoral. Justru film itu hendak menggambarkan kondisi terkini demokrasi Indonesia yang patut diketahui masyarakat luas.

Baca juga : 1 Juta Penonton dalam 8 Jam, 'Dirty Vote' Telanjangi Kecurangan Pilpres 2024

"Apa yang dipaparkan di dalam film ini sangat penting terkait pada isu yang lebih luas dari sekedar kandidasi pilpres, yakni problem regresi demokrasi indonesia yang terancam semakin terpuruk. Jadi jangan kemudian diperkecil lingkupnya pada sekedar politik partisan. Publik patut mendapatkan pemahaman lebih lanjut tentang kondisi politik dan demokrasi Indonesia saat ini," terusnya.

Puput menegaskan Indonesia sebagai negara demokrasi patut membuka ruang-ruang diskusi politik, termasuk tentang apa yang disampaikan di dalam film ini. Publik yang melihat film ini yang berhak menilai kontennya dan menjadikannya sebagai pembelajaran politik mereka. 

"Film ini bisa jadi starting point untuk diskusi lebih lanjut, seperti yang umumnya berlangsung di ruang demokrasi," sebutnya.

Baca juga : Peneliti BRIN: Wacana Pemilu Hanya Satu Putaran Membajak Demokrasi

Film itu memang menyangkut banyak pihak yang terkait dengan Pemilu 2024. Oleh sebab itu, ada pula pihak yang tidak setuju dengan narasi film Dirty Vote.

"Jika tidak sepakat dengan kontennya maka bisa dihadirkan informasi atau data pembandingnya, diskusi berjalan dan biarkan kemudian publik mengetahui yang sebenarnya berlangsung dan semakin cerdas berbasis data dan informasi. Tidak lantas apa-apa kemudian dibawa ke ranah hukum sebagai fitnah atau pencemaran nama baik," ujarnya.

Tetap Waspada Kecurangan

Baca juga : Hanura Siapkan Strategi Jitu untuk Antisipasi Kecurangan Pemilu

Sementara itu, pengamat politik Citra Institute, Yusak Farchan mengatakan, sikap kritis para akademisi, pegiat demokrasi, harus terus berlanjut, sebagai bentuk kritik moral kepada pemerintah. “Mestinya sebelum atau pasca pemilu teman-teman akademisi harus berdiri tegak untuk melakukan kritik moral pada pemerintah,“ kata Yusak.

Kritik dari mereka adalah untuk menjaga marwah demokrasi. Bentuk kritik dari akademisi dan pegiat demokrasi, disuarakan bukan hanya dari mimbar kampus, diskusi, tetapi juga lewat film. Misalnya, film Dirty Vote, yang dinarasikan oleh tiga Pakar Hukum Tata Negara.

“Secara umum film Dirty Vote atau gerakan yang disuarakan para akademisi itu kan refleksi kritis, atau kritik moral terhadap penyelenggara kekuasaan, Presiden Jokowi yang dianggap terlalu jauh cawe-cawe politik. Saya setuju bahwa demokrasi hari ini perlu direkonsiliasi untuk kembali ke jalur yang benar,” jelas Yusak. 

Baca juga : Politik Dinasti Menang, Demokrasi Terancam

Menurut Yusak, film ini bisa mengedukasi bagi masyarakat, pemilih. “Mereka mendapatkan informasi dari para penjaga gawang demokrasi. Termasuk pakar hukum, akademisi, yang peduli pada kualitas demokrasi yang dianggap menurun,” imbuh Yusak. 

Namun dari segi elektoral, Yusak menilai keberadaan film ini tidak akan banyak menaikkan atau menggerus suara paslon tertentu. Sebagian undecided voters sudah mengunci suara mereka, selebihnya rentan dengan ‘serangan darat’. 

“Justru yang bisa menaikkan adalah serangan darat, melalui program, bansos. Seminggu ini bansos sangat masif. Serangan udara hanya pada kalangan yang menengah keatas yang bisa berpikir kritis jumlahnya terbatas,” tandas Yusak. (Z-7)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya